Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari "Macan" Terakhir

24 Mei 2019   01:59 Diperbarui: 24 Mei 2019   02:22 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aura mendung menyelimuti Ibu Kota Indonesia, Jakarta 22 Mei 2019. Suasana khas Kota Metropolitan seketika berubah drastis saat jutaan manusia meneriakkan takbir di depan Kantor Bawaslu RI. Atas nama agama, segala keburukan pemilu dianggap sebagai dosa besar sepanjang sejarah prilaku hidup manusia.

Penyelenggara pemilu dianggap lembaga memperkerjakan para pendosa untuk meloloskan dua macan Joko Widodo (Jokowi)-Prabowo Subianto. 


Segerombolan penyandang orang beradab dan bermartabat turun meneriakan kalimat yang tak mencerminkan diri sebagai orang paling dihargai religiusnya. 

Seperti ada transaksi religius dimana kalimat kesetanan dibayar uang kertas dalam bentuk amplop putih. Warna putih kini telah dideportasi dari kesucian jadi kepalsuan. Kini putih setara dengan abu-abu, semakin tidak menunjukkan asal muasal makna sebenarnya.

Dalih mencari keadilan di atas nama Tuhan harus tercoreng oleh dua macan yang sedang berkompetisi,  Jokowi-Prabowo. Entah siapa macan sebenarnya, pertarungan tampak masih panjang.

Dihutan belantara saja, persaingan mata rantai makanan terbilang cukup alot. Namun, hampir tidak ditemukan adanya saling bunuh membunuh antar sesama.  Justru solidaritas kelompok memberlakukan asal teritorial. Apa yang terjadi, sisi penghargaan akan sebuah batas wilayah tercipta tanpa ada kekerasan, apalagi melukai sesama macan.

Membawa istilah petarung macan di Indonesia,  berbanding terbalik 180 derajat. Antusiasme ide dan gagasan mengantarkan para pendukung ke moment baku hantam, bukan lagi kedewasaan berdemokrasi atau momentum konstitusional. Siapa yang dalang dibalik itu? 

Jika memakai logika kelompok, massa aksi tidak termasuk anggota dari dua kubu macan yang sedang bertarung, yakni TKN-BPN. Kalau boleh berkata jujur, mereka hanyalah korban 'stratak' yang tahu apa-apa selain menggemakan takbir. Lantas kelompok mana yang sedang bertarung hari itu?

Tak ada takbir yang menggema diantara kelompok TKN-BPN. Yang ada hanyalah simbol dimana Ma'ruf Amin sebagai tokoh ulama, sedangkan Sandiaga Uno adalah representasi politik islam ala PKS. Representasi dua orang itu membentuk dua kelompok,  yakni 'cebong' dan 'jihad'.  

Alhasil,  perseteruan antara dua macan pindah antara 'cebong' dan 'jihad'. Korban pun berjatuhan dengan berbagai latar belakang sebab. 

Aparat kepolisian tampil mengatur suasana agar tetap berjalan damai,  justru disalahkan karena menarik pelatuk hingga menjatuhkan korban dan meninggal dunia. Aparat kepolisian tak ubahnya seperti macan ketiga yang juga sedang bertarung dan memburu mangsa. Akhirnya ada tiga macan di hari itu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun