Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Informasi Kita Paska Pilpres 2019

18 April 2019   21:38 Diperbarui: 18 April 2019   21:53 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara soal informasi bukan barang usang untuk jadi bahan diskursus. Bangsa ini sedang menghadapi tantangan dunia teknologi informasi cukup kuat. Kalau tidak dibicarakan sejak awal, bukan hanya ketinggalan informasi, tapi juga ketinggalan diskursusnya.

Kredibilitas elit politik memanfaatkan informasi sebagai sarana sharing knowlegde sangati diuji melalui Pilpres 2019 ini. Mengapa tidak, sumber kegaduhan politik nasional dimulai dari pertarungan elit di pusaran informasi. Endahan isu miring kemudian diolah sedemikian rupa hingga menimbulkan ragam provokasi massa.  

Penggunaan teknologi informasi elit politik di dunia maya terbilang cukup kuat arusnya. Penyematan label 'keras dan kasar' untuk Pilpres 2019 bukan statement kosong belakang. Adu mulut antara elit membuat masyarakat ikut terprovokasi. Situasi itu membenarkan anggapan bahwa semakin kuat kultur berdemokrasi satu negara, maka ruang sharing informasi juga semakin luas dan liar. Itu yang terjadi saat ini.

Berita palsu yang menyinggung kedua kandidat capres dan cawapres mengalir kuat laiknya banjir bandang. Hasil olah redaksi para elit mengantarkan keduanya menjadi korban netizen.

Prestasi keduanya juga tidak luput dari pemberitaan. Mencari kesalahan lalu diolah hingga benar-benar menarik dan seksi. Alhasil, pembaca ikut terbawa suasana olah redaksi para netizen. Tidak cukup sampai di situ, perkelahian antara satu sama lain dipicu hoax media sosial.

Tidak perlu jauh-jauh, grup facebook misalnya, potensi viral tidak membutuhkan waktu lama. Sebab, bisa dipastikan sampai saat ini pengguna facebook lebih banyak dibandingkan twitter.   

Salah satu isu santer, yakni menyinggung soal ketaatan Jokowi ataupun Prabowo sama-sama kepada Allah SWT berbuah banyak pertanyaan. Padahal ketersinggungan itu sama sekali tidak boleh disangkut pautkan dalam politik Pilpres. Elit politik mengolah situasi itu seperti sedang berhadapan dengan tentara gajah yang berniat menghancurkan kabbah. Alhasil, kebenaran dibalik situasi tidak pernah terdengar ke masyarakat. 

Menelusuri peristiwa lainnya,  semuanya bisa disimpulkan awal mulanya yakni dari perseteruan di dunia informasi. Tim kerja dengan satu komando mengurai isu menjadi ragam redaksi liar demi meraih konsensus netizen. Teringat dengan film Republik Twitter, semuanya dikendalikan oleh sepuluh jari dan satu mulut.  Media sosial twitter tak ubahnya seperti partai politik dunia maya. 

Habermas tidak setuju dengan situasi itu, bahwa sebuah negara disebut demokratis jika menyediakan sebuah ruang publik yang 'netral' bagi setiap warganya untuk menyampaikan pendapat, gagasan bahkan kritik kekuasaan. Netralitas jadi kata kunci demokratis. Kalau bibawa dalam dunia informasi, netralitas yang dimaksud adalah memberikan pendidikan politik kepada masyarakat tentang menolak diprovokasi.   

Harusnya, kehadiran informasi di dunai maya memperkuat kultur demokrasi kita. Dunia informasi itu menerbitkan harapan akan lahirnya sebuah peradaban demokrasi yang baru di Indonesia, yang tidak pernah ada sebelumnya.

Pilihan berdemokrasi seperti itu mewajibkan netizen bebas berbicara dan berekspresi. Tapi dengan catatan tetap berlandaskan pada etika berdemokrasi. Dengan begitu berdemokrasi di dunia maya jadi lebih baik.

Memaknai rasiologis Binnekha Tunggu Ika adalah berdemokrasi perlu dipahami sebagai landasan bersosial melalui teknologi informasi. Mengurai setiap isu politik perlu mengedepankan pada prinsip sharing the future, bukan sharing the past.  Apabila ini terjadi, dikhawatirkan pasti menimbulkan konflik dekstruktif.

Alhasil, informasi hanya dimanfaatkan sebagai ajang adu isu politik.  Lihat saja bagaimana Jokowi diisukan sebagai anak ideologi komunis, sampai dibuatkan dalam satu buat buku. Begitu juga Prabowo, ujung-ujungnya sama saja, tetap dipandang negatif.

Manusia dalam kacamata dunia informasi tidak memiliki kedudukan yang berbeda. Tidak ada klasifikasi masyarakat dalam dunia maya, kepala negara sekalipun jika menampakkan wajah di youtube atau twitter, tidak ada bedanya dengan masyarakat lain. Maka hal itu ini senada dengan konsep moderasi informasi. 

Konsep itu sebagai hal prinsipil menciptakan demokrasi yang baik. Tidak ada pembeda antara youtuber dengan selebgram, artis twitter dan artis facebook. Dengan begitu bersosial di dunia maya tidak lagi melihat pejabat atau elit, melainkan pengguna media sosial. 

Jika masih juga diidahkan, maka pada Pilpres selanjutnya menimbulkan tensi lebih keras dari Pilpres 2019. Paling dimungkinan arus hoax mengalir desar tanpa bisa dibendung. Bahkan orang sekelas hacker sekalipun. 

Lantas bagaimana moderasi informasi menciptakan demokrasi yang baik? Morriset menawarkan enam hal yang dipandangnya penting bagi penguatan demokrasi di intenet atau dunia maya yaitu akses, informasi dan edukasi, diskusi, musyawarah (deliberation), pilihan, dan aksi literasi.

Guna memenuhi semua penawaran itu, demokrasi sesungguhnya perlu dibawa dalam dunia informasi. Maksudnya, pengguna media sosial tidak perlu memanfaatkan masyarakat sebagai alat pemetaan konflik. Tapi menjadikan masyarakat sebagai sumber diskursus soal isu politik. Jika itu diterapkan dalam dunia informasi, tentu demokrasi yang diimpikan di era sekarang ini terwujud dengan sendirinya. 

Kita perlu belajar dari Amerika Serikat yang demokrasinya tidak jauh beda dengan demokrasi di dunia nyata atau secara historis, belajar dari kebangkitan revolusi demokrasi di abad 18 dan abad 19.

Dunia maya sangat dimungkinkan menjadi ruang diskusi antar sama sama lain menyikapi segala persoalan sosial, ekonomi dan hukum. Kemudian diterapkan dalam satu aksi nyata, entah itu aksi literasi atau pada level paling ekstrem adalah aksi demonstrasi.

Menjadikannya ajang diskusi dan musyawarah yang sehat membuat media sosial semakin sehat. Bahkan bukan hanya menstimulasi kepada warga, juga dengan elit politik da pemimpin. Jika itu berhasil diterapkan, tentu jadi yang pertama di Indonesia. Bahkan, bangsa Indonesia dapat dinyatakan telah siap memasuki era civil society.  

Lewat media sosila seperti Facebook, WhatsApp, Line dan Twitter, masyarakat dapat dengan mudah "menjangkau" pemangku kekuasaan seperti Presiden Jokowi atau yang lainnya. Dalam skala masyarakat internasional, masyarakat Indonesia terhubung dengan masyarakat internasional membicarakan terkait fenomena dunia yang dapat menjadi bahan kajian di Indonesia.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun