Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jurnalis Bukan Pekerja Politik

12 Februari 2019   16:41 Diperbarui: 12 Februari 2019   16:59 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dicabutnya Keppres ini mengisyarakatkan pengakuan Presiden Jokowi atas kekeliruannya menggunakan hak konstitusional kepada Susrama sebagai warga negara Indonesia yang sama didepan hukum atau dengan kata lain bisa mendapat hak pengurangan masa tahanan.

Pidana seumur hidup yang didapatkannya dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar tahun 2010 menjadi warning kepada orang-orang yang berniat ingin melakukan hal serupa.

Tapi yang perlu diperhatikan, peringatan HPN kali ini dirayakan menjelang Pilpres 17 April 2019, dimana sebentar lagi rakyat Indonesia menjatuhkan pilihannya kepada Presiden selanjutnya, yang mana disitu ada Presiden Jokowi sebagai incumbent nomor urut 01 berpasangan dengan Ma'ruf Amin.

Segala keputusan Presiden Jokowi tentu sangat berpengaruh terhadap pemenangan Pilpres 2019 atas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai lawannya. Terutama kepada jurnalis yang sangat memahami situasi ini. Kemungkinan besar akan jadi bahan pertimbangan untuk memilih kandidat mana yang menempatkan jurnalis sebagai aset bangsa.

Di sisi lain, perlu diperhatikan bahwa Capres dan Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno juga dilingkari para jurnalis lainnya yang sepaham dengan penempatan kedudukan jurnalis pada sisi menurut kandidat tersebut.

Walau pun Presiden Jokowi menyepakati aspirasi jurnalis, tidak boleh ada dorongan politis menjadikan jurnalis sebagai alat maupun pekerja politik. Deretan kasus tewasnya jurnalis tidak sampai pada finalisasi penegakan hukum. Ironisnya, tidak ada satupun kasus yang terselesaikan, bahkan rekayasa pada proses hukumnya sama sekali tidak disentuh negara. Ditambah lagi para tersangka kabur begitu saja tanpa jejak.

Penegakan hukum atas kasus pembunuhan jurnalis beberapa tahun belakangan yang belum pernah terungkap, harus menjadi bahan pembenahan penegakan hukum di Indonesia. Dengan begitu, apa yang terjadi pada Susrama bukan lagi yang pertama kalinya dalam sejarah jurnalis di Indonesia.

Menyandang status sebagai capres nomor urut 01, situasi ini tidak boleh dimanfaatkan untuk alat politik Pilpres. Kepedulian Presiden Jokowi ditengah ditengah minimnya perhatian negara kepada jurnalis, bisa saja tanpa disadari memanfaatkan jurnalis sebagai pekerja politik. Lewat keputusannya ini, potensi memantik keberpihakan jurnalis kemungkinan bisa terjadi.

Sebagai bahan pengetahuan, saat masih menyandang status sebagai jurnalis yang terikat dengan kode etiknya, tidak dibolehkan secara terorganisir terang-terangan mendukungan paslon capres dan cawapres, mulai dari kampanye hingga masuk dalam tim pemenangan.

Dibalik itu, yang patut diperhatikan bahwa jurnalis sendiri memiliki pandangan dan sikap politik tersendiri sebagai dasar menentukan pilihannya.

Dalam skema sederhana, jika Jokowi menempatkan jurnalis sebagai sebenar-benarnya aset bangsa, ini bisa menjadi bahan pertimbangan untuk memilih dirinya sebagai Presiden Indonesia lima tahun akan datang. Potensi menang cukup menjanjikan. Selain media sebagai kekuatannya, juga didukung kemampuan komunikasi politik di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun