Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Lucunya Pileg 2019

9 Februari 2019   03:04 Diperbarui: 9 Februari 2019   03:31 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasa-rasanya sulit bagi bangsa ini menjauh dari hegomoni demokrasi. Lebih-lebih caleg kerapkali mengubar janji-janji 'kesejahteraan rakyat' agar tepilih pada pemilihan legisltif (Pileg) 17 April 2019 mendatang, setelah korupsi yang dilakukannya diketahui dan diumumkan oleh penyelenggaran pemilu. Itu artinya, segala manifestasi kesejahteraan hanya fiktif belaka. Sulit rasanya menemukan kebenaran jika tidak ada yang mau bertobat dari tindakan menguras uang rakyat. Justru di institusi dewan adalah awal dari semua pemberantasan hak kesejahteraan (korupsi) itu terjadi.

Setelah rakyat diterpa berbagai masalah korupsi, harusnya caleg eks korupsi itu sadar akan posisnya sebagai caleg, bahwa tidak ada lagi ruang bagi dirinya tampil di Pileg. Apalagi untuk mengubar janji-janji kesejahteraan setelah menikmati kekayaan dari hasil mendulang uang rakyat.

Setelah semua itu diketahui, lucunya, para caleg eks korupsi terus memaksakan diri tampil sebagai caleg dan menlegitimasi dirinya sebagai orang yang akan membawa rakyat pada kesejahteraan yang hakikih. 

Dasar 'kedaulatan Negara ada ditangan rakyat' jadi senjata menyerbu penyelenggaran Pemilu untuk meloloskan dirinya ke dalam daftar calon tetap. Bukan saja catatan hitam, citra buruk dibalik slogan kesejahteraan rakyat harusnya disadari sebagai lembaran baru ancaman korupsi yang tidak boleh terjadi.

Segala bentuk tekanan dibuat-buat agar penyelenggaran pemilu sadar masih ada hak asasi manusia di negeri ini yang tidak boleh dikesampingkan. Sebagai penyelenggara pemilu, baik Bawaslu atau KPU, tentu tidak bisa berbuat semau-mau idealismenya. Lemahnya peraturan perundang-undangan tentang pemilu jadi bahan tertawaan caleg eks koruptor, bahwa penyelenggaran pemilu tidak memili intervensi kuat dalam hal ini. Tentu saja mereka lenggak lenggok masuk mendaftarkan diri untuk dipilih rakyat. 

KPU mensiasati kehadiran mereka dengan mencoba memberikan penyadaran kepada masyarakat 'jangan pilih caleg korupsi'. Situasi ini sesungguhnya menjadikan KPU tak ubahnya seperti pelawak, caleg eks koruptor berperan sebagai tim kreatif, partai sebagai dewan juri, lalu rakyat sebagai penonton.

Bayangkan, rakyat harus diperhadapkan deretan 40 nama caleg eks korupsi (9 caleg maju DPD), masing-masing ada 16 orang di level provinsi dan 24 orang dilevel kabupaten/kota, yang menghiasi surat sura Pileg 2019 nanti. Lebih lucu lagi, ternyata ada 12 partai dari 14 partai peserta Pemilu 2019 menyetujui para caleg eks korupsi untuk maju bertarung, meskipun sudah mengetahui perbuatannya. Kepercayaan partai kepada caleg eks korupsi terlihat tinggi untuk memuhasabah negeri ini yang sengsara karena korupsi membudaya, sementara calegnya sendiri adalah mantan koruptor.

Nampaknya ada pengetahuan baru yang ingin tanamkan kepada rakyat bahwa untuk melawan korupsi harus dilakukan oleh anggota legislatif yang punya pengalaman korupsi. 

Namun pada kenyataannya, korupsi berjamaah 41 anggota DPRD Malang tahun 2018 membahtah pengatahuan baru tersebut. Belum lagi sinterklaas-nya Indonesia, Setya Novanto terlibat dalam korupsi mega proyek e-KTP. Ditambah lagi kasus korupsi lainnya, sudah cukup menggambarkan pemberantasan korupsi melalui lembaga legislatif hanyalah lelucon belaka.

Rakyat perlu menyisihkan sedikit waktunya untuk tertawa lepas, setelah dipertontonkan satu fenomana komedi luar bisa lucunya, ingin bersih dari korupsi, tapi calegnya mantan koruptor. Rakyat pun dengan terpaksa datang ke tempat pemungutan suara, kemudian membawa surat suara 'kotor' karena ada daftar nama caleg eks korupsi dalam surat suara. Kalau saja bukan karena kesadaran kebangsaan, mungkin surat suara itu dirobeknya lalu dibuang di tempat sampah.

Perasaan tidak enak mendekam di hati rakyat saat melihat deretan nama-nama caleg eks koruptor dalam surat suara 'kotor' itu saat di bilik suara. Bukan saja mengganggu pandangan, juga terkesan tidak ada penghargaan kepada rakyat yang mengimpikan hidup di negeri bebas korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun