Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Daring Artis, Antara Sensasional dan Substansial

10 Januari 2019   00:35 Diperbarui: 10 Januari 2019   01:35 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini, kita dipertontonkan dengan satu fenomena yang tidak asing lagi ditelinga kita. Sebagain besar orang mengagumkan profesi ini. Bahkan, untuk sekadar menjadi kaya, cukup sekali tampil, bisa menabung sekaligus jalan-jalan kemana saja.

Namun, dibalik itu, ternyata profesi ini mengundang malapetaka. Demi kepentingan jangka pendek, justru ini lebih menjanjikan ketimbang harus bekerja paruh waktu, menguras tenaga, dan pikiran semata-mata meraih hasil yang diharap. Nasib buruk menimpa VA model majalah dewasa AS jadi cerminan bahwa profesi kebanggaan banyak orang bisa membalikkan fakta yang ada.

Tulisan ini bukan untuk membuka nasib buruknya. Fenomena harus dipikir dan kaji secara bijaksana, agar apa yang dilakukan tidak membunuh karakter dan moral seseorang.

Saya melihat, kasus yang menimpa VA dan AS tidak kalah hebohnya dengan fenomena remaja masa kini. Banyak pemberitaan dan realita menggambarkan bagaimana satu pesta "haus birahi" disimak banyak orang. Berita politik, kasus narkoba, bahkan bencana pun bisa tertutupi dengan kasus ini.

Kasus prostitusi online (daring) contohnya, warga masyarakat hingga warganet ikut menunjukkan eksistensinya menyikapi daring dari berbagai sisi kehidupan dan pemikiran. Meskipun didasari atas rasa suka sama suka, akan tetapi apa pernah terpikirkan dibenak kita bagaimana perasaan orang ditimpa musibah? Terlepas dari kesalahannya sendiri, menyebarluaskan nama lengkap si artis tidak dibenarkan dari aspek moral.

Sebab itu si artis akan mendapatkan ganjaran sosial lebih dulu ketimbang para pelaku. Jika ini yang terjadi, justru pelaku atau penerima jasa mendapat ruang gelap, tidak diketahui atau tidak bully.

Seringkali yang tercemohkan adalah mereka mesin-mesin yang tidak tau seluk beluk bagaimana jaringan ini bisa berkembang dan aksesnya kemana saja. Mucikari, jadi pintu utama untuk menjembatani jaringan pemberi dan jaringan penerima. Seharunya, mereka yang kena. Parahnya lagi, VA malah jadi bulan-bulanan dari pada AS.

Kasus VA dan AS bukan pertamakali terjadi. Seperti yang dilansir Sindonews (6/1/2019), para artis yang pernah terseret dugaan prostitusi. Kasus penangkapan terhadap artis cantik sempat membuat heboh masyarakat pada Jumat, 8 Mei 2015 silam. Artis dan model majalah dewasa berinisial AA diciduk petugas Polres Jakarta Selatan di salah satu hotel.

Dalam kasus ini, petugas juga menangkap Roby Abbas mucikari artis tersebut. Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan, AKBP Audie Latuheru saat itu mengatakan, mucikari prostitusi online itu yang menawarkan AA melalui aplikasi Blackberry Mesenger (BBM).

Kemudian 11 Desember 2015, Bareskrim Polri menciduk artis berinisial NM dan PR di salah satu hotel bintang lima di Jakarta Pusat. Dua mucikari yakni, Ferry Okviansah alias Ferry dan Ronal Rumagit alias Onal juga diciduk petugas kepolisian. Artis NM saat itu mengaku berada di hotel tersebut untuk menemui klien yang akan memberikannya job menjadi MC. Melalui kuasa hukunya saat itu, Partahi Sihombing meluruskan bila Nikita berada di hotel untuk menemui seseorang yang akan memberikan job menjadi MC.

Selanjutnya, pada 19 Februari 2016 silam, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Lampung menangkap artis dangdut Hesty Klepek-klepek di sebuah hotel berbintang di Kota Bandar Lampung. Hesty ditangkap dalam razia penyakit masyarakat di Hotel Novotel, Bandar Lampung sekitar pukul 01.00 WIB.Selain mengamankan artis Hesty polisi juga menangkap beberapa muncikari lainnya di sejumlah hotel di Kota Bandar Lampung.

Wajar, kehidupan dan gaya hidup artis bisa mengantarkan mereka dalam kehidupan dunia yang tidak pernah usai. Namun lagi-lagi, penegakan hukum jadi kunci memberikan kepastian apa dan bagaimana mereka setelah ini.

Moral adalah bagian dari hukum. Keduanya satu kesatuan dalam kehidupan manusia agar tidak terjerumus ke dalam jurang kehancuran atau membunuh psikologi seseorang. Pada realitasnya, yang menjadi tranding topic dalam kasus daring adalah para artis yang terlibat.

Banyak media dan warganet memfokuskan diri terhadap si artis. Twitter contohnya, si artis jadi trending topic para penduduk twitter dengan mamasang hastag #80juta dan #MenjemputRejeki2019, ada yang membully dan berempati.  Padahal, dibalik itu, pelaku sampai saat ini hanya sekadar inisial.

Padahal, indentitas KTP sudah dikehui pihak kepolisian. Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol. Frans Barung yang dilansir Tempo, Selasa (9/1/2019), mengaku bahwa inisial R adalah seorang pengusaha tambang pasir di Lumajang memang ada. Mengapa hanya inisial, padahal identitasnya sudah terbaca. Justru ini yang harus dibuka, bukan si artis.

Saya sepakat, statement Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Adriana Venny yang menyayangkan maraknya pengeksploitasian identitas dan penghakiman terhadap perempuan, mulai dari jajaran penegak hukum, media, hingga respons masyarakat, memang ada benarnya.

Seharusnya dari awal, si artis tidak diungkapkan nama aslinya demi melindunginya dari ganjaran sosial. Karena tidak mendapat perlindungan, akhirnya si artis harus mendapat ganjaran sosial.

Dari aspek ini, sungguh tidak dibenarkan. malah, Barung mengalihkan pandangan masyarakat dengan mengatakan kasus ini murni ingin mengungkap kasus prostitusi daring yang ada di wilayah ini. Kebetulan saja prostitusi itu adalah artis. Tidak ada kebutulan dalam hukum, semua bisa ditegakkan dari sisi mana saja. Jika moral dan hukum adalah satu kesatuan, mestinya nama itu harus inisial dan tidak menampakkan wajah si artis sebelum pelaku diungkap ke media.

Selain, Adriana, aktivis perempuan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Siti Aminah memandang setiap kasus prostitusi terungkap, media massa selalu mendudukkan pelaku perempuan yang menjadi pekerja seks komersial sebagai objek sorotan.

Perempuan menjadi objek, baik dalam konteks TPPO (tindak pidana perdagangan orang) maupun konteks prostitusi. Dalam kasus daring ini, Ia memposisikan VA sebagai korban dalam perspektif feminis yang dimana perempuan yang menjadi korban prostitusi harus diperlakukan sebagai korban TPPO.

Dalam konteks yang sama, seperti yang dilansir BBC, Senin (7/1/2019), Peneliti Media, Wisnu Utomo , mengatakan dari sekian banyak aspek terkait kasus prostitusi online ini - profil klien prostitusi online tersebut, struktur jaringan, dan sebagainya, sebagian media memilih untuk lebih fokus mengupas seluk beluk sosok sang artis. Ia menilai pemberitaan kasus daring artis masih sangat buruk.

Menurutnya, banyak angle berita yang lebih layak diproduksi untuk kepentingan publik. Selain itu, ia juga menilai, pemberitaan kasus dugaan prostitusi online yang melibatkan artis jarang mengupas isu-isu substansial yang bisa menguak dapur bisnis asusila tersebut. Justru belih banyak hal-hal yang sifatnya sensasional.

Bahkan, pengacara ternama Hotman Paris lewat postingan akun Instagram pribadi miliknya, @hotmanparisofficial, Minggu (6/1/2019), menyinggung para wartawan yang lebih fokus memberitakan seluk beluk si artis. Pengacara kondang meminta agar awak media tidak hanya mengekspos sang artis, namun juga konglomerat yang terlibat.

Lebih menariknya lagi, sikap "pengecut" pengacara VA, Zakir Rasyidin, memilih mengundurkan diri dengan berbagai alasan yang sulit diterima. Mestinya, ia menyampingkan sesuatu dibalik kasus daring artis dan berupaya menjauhkan si artis dari ganjaran sosial.

Saya memilih sepakat untuk tidak menampilkan identitas si artis dalam kasus daring artis ini. Bahkan, jika ada kekuatan hukum, tidak boleh menunjukkan wajah artis sebagai bentuk perlindungan nama baik seseorang.

Bagaimana Kebijakan Hukum?

Kasus daring ini menggunakan konstruksi hukum dengan menetapkan Pasal 45 juncto Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai senjata yang ditujukan untuk prostitusi daringnya. Pasal 45 jo. Pasal 27 Ayat (1) UU ITE juga akan dikombinasikan dengan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP agar dapat diterima.

Namun, menurut Hotman Paris, kebijakan hukum untuk si artis maupun si pengusaha tersebut masih sulit dilakukan.

Pandangan berbeda juga disampaikan Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani. Mengawali perbincangan soal pembahasan revisi UU KUHP di Gedung DPR, Senin (7/1/2019), bahwa dalam UU ITE terdapat pasal pidana terkit dengan larangan untuk menyebarluaskan konten, materi yang berbau porno. Tetapi, dalam bisnis daring yang terjadi hanya tawar menawar, bukan konten.

Meski berbeda pandangan, ada celah yang bisa dilakukan guna memberkan kepastian hukum dalam kasus daring artis ini. Sebenarnya, pengguna jasa prostitusi bisa dipidanakan jika teradapat aduan.

Misalnya, menggunakan pasal perzinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan penjelasan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di mana salah satunya sudah bersuami atau beristri dan diadukan suami atau istri.

Ini bisa membantu memberikan kebijakan hukum dalam kasus daring. Khusus untuk si artis, para pelaku pelanggar UU ITE harus diproses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun