Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Negeri yang Dibolak-balik

10 Februari 2018   13:40 Diperbarui: 10 Februari 2018   13:58 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak korban gizi buruk di Asmat begitu kurus dan kesehatan buruk. Foto: reportase.com

Bukan suatu kebetulan, negeri ini seringkali hidup tidak sesuai harapan. Banyak hal terlintas dalam benak kita, mengapa semua ini bisa terjadi. Padahal negeri  ini memiliki segala macam kekayaan berlimpah. Apa enaknya hidup ditanah yang sudah dilumuri darah para pahlawan demi mempertahankan segala kekayaannya untuk rakyat. Kalau bukan karena nilai perjuangan, cita-cita dan masa depan yang lebih cerah, tidak akan ada orang rela dibunuh.

Dalam satu kesempatan, diskusi Soekarno dan Hatta kala waktu mendekati bibir senja, terucap kalimat bahwa kekayaan negeri ini diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Bagian tersirat dalam kalimat ini, seluruh rakyat tidak ada lagi yang kelaparan, miskin dan tidak bisa sekolah.

Namun, seiring berjalannya waktu, kalimat ini seakan-akan hanya diperuntukkan untuk orang yang sedang dalam keadaan terbakar semangat api idealisme atau sedih. Saat dalam kondisi tenang dan bahagia, semua ditutupi oleh indahnya lobi-lobi dan koalisi politik. Memang tidak seindah antara apa yang disampaikan di atas panggung, demikian dalam sebuah pertemuan ilmiah hingga perakteknya.

Mari kita simak, dalam rilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada bulan September 2017 jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen), berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen).

Dalam jumlah keseluruhan, menampakkan hasil yang menggembirakan. Hanya saja dibalik itu, banyak problem yang tidak kalah pentingnya dengan kemiskinan. Pertama, daerah Asmat menjadi salah satu bukti betapa bobroknya pemerintah dalam disisi akses pelayanan kesehatan. Kedua, kebijakan impor beras menuai komenter miring dari masyarakat. Bagaimana tidak, disebagian daerah penghasil beras sedang menunggu waktu panen.

Ketiga, memasuki tahun-tahun politik, banyak dari para politisi sibuk mengurus partainya masing-masing. Di tataran parlemen, terjadi perebutan kursi pimpinan antar partai besar, Golkar dan PDI-P. Untuk isu sosial dan kemanusiaan, sementara waktu disimpan di urutan bawah.

Kondisi demikian seakan-akan dipolitisasi untuk maksud dan tujuan tertentu, sehingga pandangan masyarakat mulai terganggu. Akibatnya memilih untuk diam dan lebih baik mencari seadanya saja.

Keadaan ini juga turut mengundang gerakan mahasiswa kembali menunjukkan tajinya. Bukan lewat aksi, melainkan kartu kuning yang bermakna bahwa masih banyak hal-hal yang belum dilakukan untuk negeri ini. Dalam urusan sepak bola, pemberikan kartu kuning kepada pemain menjadi urusan yang panjang. Ancaman akan datangnya kartu kuning berikutnya atau kartu merah sekaligus tidak dapat diprediksi. Demikian dengan pemerintahan saat ini antara orasi, profesionalitas jabatan hingga hasil dilapangan tidak terjadi korelasi yang baik. Kalau sudah begini, yang jadi pertanyaan kemana janji janji manis itu.

Menarik juga untuk disimak juga, beberapa waktu lalu Presiden Jokowi mengeluarkan statment bahwa sumber daya alam tidak lagi membanggakan, melainkan sumber daya manusia. Karena kekayaan sesungguhnya adalah kekayaan manusianya. Dalam kalimat sederhana ini, manusia dan alam memiliki keterkaitan dalam hal kebanggan suatu bangsa. Dengan statment ini, Indonesia seperti ingin dibalik dari yang berusaha menjaga alam dari pihak asing tapi menyampingkan kualitas manusia, menjadi meningkatkan kualityas manusianya dan rela alamnya dikuras orang lain.

MUSIM KANDIDAT MENANTI JANJI MANIS

Dengan segala macam persoalan, bisa menjadi bahan menyusun serangkaian janji-janji manis. Bukan hal baru, tapi ini sudah menjadi kebiasaan menjelang tahun politik. Seperti ada setingan bahwa kondisi ini sengaja diciptakan untuk kembali menyusun janji-janji manis. Bukan menjadi beban moral, tapi senjata untuk meraih suara rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun