Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jelmaan Serupa

9 November 2017   04:45 Diperbarui: 9 November 2017   04:57 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.paintinghere.com/UploadPic/Kitty%20Meijering/big/New%20Shoes.jpg

Penari berselendang merah membentangkan selendangnya, bulan pun tampak memerah, tatapan tajam tertuju kepada sepasang mata biru si penulis pasir (Nelangsa yang sering menuliskan kisahnya di atas pasir pantai Harlem) menghanyutkan dirinya ke alam yang tak pernah dikira sebelumnya. Lagi lagi, ia tak punya kuasa lebih atas tatapan tajam itu. Berdiri dari posisi sedang menulis, pelan-pelan ia berjalan menyambut tangan si penari selendang merah.

Tapi kemudian ketika sedang berjalan, ia menatap penari itu seperti seseorang yang ada selama ini membuatnya harus menulis di atas pasir. Ia melihatnya, seperti sedang memanggil sambil melambaikan tangan kiri ke atas dan tersenyum.

"Nelangsaaaaaaa....." ia mengucek-ngucek kedua matanya.

Ia melihatnya, sesuatu yang sangat indah terpampang saat tersenyum, kedua tangannya memegang pipinya yang bulat, angin sepoi-sepoi menghembuskan gamis dan jilbab syar'inya berwarna biru hingga tampak seperti sosok bidadari langit, ia melihatnya. Kedua matanya menggambarkan keindahan Sang Pencipta, ibarat Yang Yuhuan tatkala bunga pun layu karena kalah rupawan. Semua tampak berbeda, tatkala hati berucap "Bidadari Langit." Itulah yang tersimpan abadi dalam hatinya.

"Nana, Bidadari Langitku? Kau kah itu." Ia menyebut nama perempuan itu.

Ia melihat, Nana itu menunggunya sambil membuka sebuah kotak kecil yang dihiasi pelangi. Begitu terbuka, terpancar sebuah cahaya kemilau biru. Dalam cahaya itu tertayang ada sepasang kekasih tengah bersenda gurau, laki-lakinya memberikan kalimat seloroh, lalu perempuannya tertawa terbahak-bahak.

Mereka tampak bahagia, saling melemparkan kalimat seloroh, melempar daun-daun kering ke arah masing-masing, kemudian perempuannya mendorong halus bahu laki-laki itu sambil tertawa. Sungguh, tayangan dalam cahaya itu mengingatkannya kembali pada 25 tahun yang lalu.

"Nelangsaaaaa, kemari.." Bidadari Langit memanggil jadi kejauhan, ingin rasanya berlari kencang, tapi kakinya terasa berat. Penari itu mengendalikan tubuhnya. "Ada pelangi kita di sini, cepaaaat."

Tapi, itu bukan dia, itu penari selendang merah yang menjelma menjadi Bidadari Langit  agar hanyut dalam bujuk rayuan menari dengan selendang merahnya.

"Bidadari Langit." Ia melihat keheranan dan tidak menyangka dengan apa yang nampak jauh dihadapannya.

Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Entah kenapa, kekuatan penari itu mampu menjelma menjadi bidadari langitnya. Yang diketahuinya, selama ini, ia tidak pernah bersentuhan dengan selendang merah. Kalau pun ingin menari, tidak pernah memakai selendang merah atau pun putih, hanya ada selendang biru, seperti julukan yang ia beri kepadanya, bidadari langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun