Mohon tunggu...
Muhammad Rafiq
Muhammad Rafiq Mohon Tunggu... Jurnalis - Bersahabat dengan Pikiran

Ketua Umum Badko HMI Sulteng 2018-2020 | Alumni Fakultas Hukum Universitas Tadulako | Peminat Hukum dan Politik | Jurnalis Sulawesi Tengah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Selendang Merah

7 November 2017   02:52 Diperbarui: 7 November 2017   04:16 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: cerpenku.com

Di pantai Harlem, ia terus menuliskan beberapa kalimat serupa di atas pasir pantai sembari menatap senja yang beberapa saat lagi bangun dari tidurnya. Nelangsa, sang penulis pasir, kini ia menyandang nama itu. Tapi untuk apa? Tidak pernah terpatri dipikirannya menyandang nama itu selain menunggu malaikat Izrail menjemput dirinya lalu menghadap Tuhan dan mempertanggung jawabkan semua apa yang telah dilakukan selama berada di pantai.

Senja pun terbangun, tidak ada yang berbeda, selalu disambut dengan kesedihan nampak setiap pecahan ombak. Sangat emosional, entah apa harus ia lakukan. Harapan tidak boleh pupus, Senja harus menuliskan kembali tulisannya di atas kertas sebelum kematian itu tiba. Kalaupun tidak, ia akan menyuruh bulan memberinya obat keras. Sungguh kejam, tapi apa yang lebih kejam selain Senja itu sendiri.

Ia menghunuskan kembali penanya, dari kejauhan, seseorang datang menuju tempat di mana ia menulis. Ia tercengang, ternyata seseorang itu adalah perempuan yang entah siapa, ia bertubuh langsing, memakai kebaya, menari-nari, jari telunjuk dan tengah tangan kirinya menghimpit selendang merah dan selendang putih di tangan kanan.

“Nelangsa, Nelangsa, Nelangsa” suara halus menggetarkan tubuhnya, mata terpejam mendengar bisikan perempuan itu dari kejauhan. Aneh, ia sama sekali tidak mengenali perempuan itu, yang nampak jelas hanya dua selendangnya. Ia enggan mendatangi perempuan itu. Tapi, tariannya sangat menghanyutkan, dari kejauhan sekali-kali memberikan tangan kirinya dibaluti selendang merah mengajaknya menari.

“Tidak, tidak,” segera ia tersadar, memberontak menolak ajakan si penari itu. Namun, tetap saja menggodanya. Seperti ada energi yang sangat kuat mengajaknya menari. Tapi, yang digunakan menari-nari hanya selendang merah, sementara selendang putih didiamkan saja terhimpit diantara dua jari telunjuk dan jari tengah. Tarian dan selendang merahnya terkesan sangat aneh dan misterius baginya.

Perempuan itu tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya. Lagi, lagi dan lagi, energi itu sangat kuat menariknya menari, suara halus terus membisik di telinganya. Sekali-kali perempuan itu membalikkan wajahnya sedikit kebelakang hingga menampakkan sisi kiri wajahnya. Meski begitu, tetap saja wajahnya tidak jelas.

“Kemarilah, menari bersamaku.” Energi itu semakin kuat, gemerisik daun-daun seketika berhenti, tubuhnya menjadi kaku tak bisa digerakkan. Tiba-tiba, tangan kanannya bergerak sendiri, yang sebelumnya pena digengam lembut layaknya sedang menulis, kini digenggam dengan kuat layaknya ingin mematahkan mistar dengan kedua tangannya.

Semakin selendang merahnya dikibarkan, retakan di penanya semakin banyak. Tubuhnya gemetar mengendalikan tangannya agar pena tidak patah. Apalah daya, energi itu sangat kuat. Ia terus mencoba mengendalikan tubuhnya, sampai tubuhnya berkeringat menahan energi itu.

“Tidak, tidak, tidak.” Ia terus memberontak. Entah apa yang terjadi, ketika selendang merah dikibarkan, tangannya terus menggenggam dengan kuat. Perempuan itu tidak menggunakan selendang putih dalam tariannya, selalu selendang merah. Apa arti dari selendang merah itu? lalu untuk apa menari dengan selendang merah? Auranya semakin lama semakin panas.

Praaakkkkkkkk!!!

Penanya patah seketika, patahan pena mengiris kedua tangannya hingga mengalir banyak darah. Perempuan itu tersenyum miring, tampak senang telah  mematahkan pena yang menjadi alat untuk menuliskan kisahnya selama 25 tahun di atas pasir.

“Aku adalah gerbang menuju duniamu yang sebenarnya, menarilah bersamaku, ku antar kau kesana.”  bisikannya semakin kuat, sampai-sampai ia tak mampu mengendalikan tubuhnya. Beruntung, Senja membantunya melawan energi perempuan itu.

“Mengapa? Bukankah aku sekarang adalah penolongmu, dunia mu ada dibalik selendang merahku ini, kemari menarilah bersamaku.” Ia tak henti-henti memberontak. Berkat Senja, ia mampu mengendalikan tubuhnya. Perempuan itu mengibarkan selendar merahnya ke kiri hingga membuat dunia ini menjadi merah. Sanking kuatnya, kekuatan Senja tak mampu bertahan lama dan tiba waktunya tidur kembali.

“Kemari, menarilah bersamaku.” Kaki kirinya bergerak maju, ia tak mampu lagi menahan gempuran energi perempuan itu. Entah apa yang terjadi, rasa-rasanya perempuan ini menginginkan dirinya menari bersama. Tapi, mengapa harus menari-nari dengan selendang merah? Dunia apa dibalik selendang merahnya itu. Auranya sangat panas, seperti tidak ada apa-apa di sana. Mungkin ini dunia untuknya. Kalau itu benar, mengapa Senja mau menemaninya, sementara Senja palsu memperlakukannya seolah-olah enggan ditingal pergi.

Tidak, ini pasti rekayasa alam bawah sadarnya, mungkin saja ia adalah ratu dari Senja palsu yang menyamar menjadi penari selendang merah. Bisa saja, hambanya membiarkan ia hidup terhinakan dan mengajaknya kedunia sesungguhnya.

“Dekaplah lebih erat, masuklah dalam selendang merahku.” Semakin dekat, matanya semakin rabun menatap wajah perempuan penari itu. Semakin tidak jelas siapa, dari mana asalnya.

“Tidak, tidak, tidaaak.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun