SITI RAFIDHAH HANUM, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Anggota UKM Jurnalistik UBBG Banda Aceh serta novelis.
Setiap lahirnya sebuah karya, tentu memiliki alasan di baliknya. Begitu juga dengan novel berjudul Kita Tidak Baik-Baik Saja karya Jurnal Hanum, nama pena dari seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Bina Bangsa Getsempena, Banda Aceh.
Novel bersampul hijau ini memiliki 42 bab dan 432 halaman, diterbitkan pada tahun 2024 oleh Penerbit Pimedia Bandung. Ini merupakan karya ke-9 yang ditulis Jurnal Hanum pada tahun ke lima setelah memutuskan menjadi seorang penulis.
Novel ini memiliki perjalanan yang cukup panjang. Berawal dari marah penulis pada orang-orang dewasa yang sudah menikah. Setiap ada pertengkaran di dalam rumah tangga, beberapa orang yang penulis kenal sama sekali tidak peduli pada perasaan anak.
Di pikiran mereka hanya "Bagaimana caranya membahagiakan diri setelahnya" agar tidak berlarut-larut dalam beban pikiran. Memang ada banyak yang mengutamakan kepentingan anak meskipun diri sendiri nyaris hancur karena berkonflik dengan pasangan. Akan tetapi, penulis tidak bisa mengabaikan rasa gerah pada orang tua egois lainnya.
Penulis mengenal seorang anak yang berada di kondisi seperti ini. Usia delapan atau sembilan tahun, setahun setelah ayahnya minggat dari rumah, dia mencoba menelpon nomor sang ayah. Wajar jika anak perempuan merindukan sosok yang tak ada kabar, secara emosional anak perempuan memang dekat dengan ayah.
Akan tetapi, dia bercerita bahwa yang mengangkat telepon adalah seorang perempuan dewasa. Perempuan itu tidak marah, tapi minta dimengerti bahwa dirinya ingin bahagia dan melarang anak tersebut untuk menghubungi ayahnya.
Alhasil anak tersebut marah. Pada usianya yang begitu belia, dia menangis sambil adu mulut dengan perempuan itu. Saat dia sekolah di jenjang SMP, ada lagi perempuan yang mencari dia ke sekolah untuk menanyakan keberadaan ayahnya. Dia dimaki-maki di hadapan ratusan siswa lain yang ingin tahu ada kejadian apa.
Alhasil penulis semakin membara. Emosi yang kemarin-kemarin tidak tersalurkan meledak. Tidak mungkin baginya menyampaikan jawaban yang akan diberikan jika penulis berada di posisi si anak. Khawatir akan memberikan tekanan psikologis yang berlebihan.
Namun seiring berjalannya waktu, perasaan itu terkunci dan tenggelam oleh imajinasi yang lain. Hingga pada tahun 2022, penulis menonton drama Korea berjudul Love (ft. Marriage and Divorce). Emosi itu kembali muncul.