Mohon tunggu...
Raffi Muhamad Faruq
Raffi Muhamad Faruq Mohon Tunggu... Peternak - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prodi Manajemen Pendidikan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pikiran dan Kenyataan: Mengurai Ikatan antara Konsep dan Eksistensi Manusia

29 November 2024   19:07 Diperbarui: 29 November 2024   19:07 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Freepik.com

Manusia, dalam perjalanan panjangnya, selalu berada dalam persimpangan antara dunia ide dan dunia nyata. Di satu sisi, kita memiliki pikiran---sebuah ruang batin yang penuh dengan konsep, angan-angan, dan harapan. Di sisi lain, ada kenyataan yang kerap kali tidak bisa dikendalikan oleh sekadar keinginan atau ide. Lalu, bagaimana hubungan antara keduanya? Apakah pikiran kita bisa mengubah kenyataan, atau justru kenyataan yang membentuk pikiran kita?

Dalam konteks ini, kita bisa merenung sejenak tentang konsep "eksistensi." Eksistensi manusia bukan hanya sekadar soal berada dalam ruang dan waktu. Ia adalah proses, perjalanan, dan refleksi terhadap apa yang kita sebut sebagai kenyataan. Namun, kenyataan itu tidak pernah tunggal, ia terjalin dengan perspektif yang dibawa oleh setiap individu. Pikiran kita, meski terkadang terasa lepas dari kontrol, adalah pintu gerbang menuju pemahaman kita tentang dunia ini. Tapi apakah pikiran itu menciptakan kenyataan? Ataukah kenyataan yang membentuk pikiran kita?

Secara filosofi, ada dua pandangan utama dalam memandang hubungan antara pikiran dan kenyataan: idealisme dan realisme. Dalam idealisme, yang dicontohkan oleh filsuf seperti Plato dan Hegel, dunia yang kita sebut nyata ini adalah hasil dari pemikiran atau kesadaran yang lebih tinggi. Dunia, bagi mereka, adalah manifestasi dari ide atau bentuk-bentuk yang ada di dalam pikiran. Sementara itu, dalam realisme, yang dibela oleh Aristoteles dan tokoh-tokoh lain, dunia ini berdiri sendiri dan ada terlepas dari pikiran kita.

Namun, bagi manusia sehari-hari, kenyataan dan pikiran sering kali bersinggungan dan tidak bisa dipisahkan begitu saja. Pikiran kita bukan hanya cerminan kosong dari kenyataan, tetapi juga pembentuknya. Ambil contoh, dalam sejarah peradaban, banyak gagasan besar yang mengubah dunia dimulai dari sebuah konsep dalam pikiran manusia. Revolusi ilmiah, seperti penemuan heliosentrisme oleh Copernicus, berawal dari sebuah ide yang menentang kenyataan yang dianggap sudah mapan. Begitu pula dengan revolusi sosial, yang dimulai dengan gagasan tentang kesetaraan dan kebebasan.

Namun, meskipun pikiran bisa membentuk kenyataan, kenyataan itu sendiri selalu memiliki kekuatan untuk membentuk pikiran kita kembali. Kita tidak bisa sepenuhnya melarikan diri dari dunia fisik yang kita huni. Ketika seseorang lapar, ia tidak bisa hanya bergantung pada pikirannya untuk menghilangkan rasa lapar tersebut; kenyataan fisik tubuhnya membutuhkan makanan. Bahkan dalam dunia yang penuh dengan konsep-konsep abstrak, tubuh dan dunia nyata tetap memegang peran yang tak tergantikan.

Dalam hal ini, eksistensi manusia menjadi semacam jembatan antara keduanya. Eksistensi kita tidak hanya terjadi dalam ruang mental, tetapi juga dalam ruang fisik. Dengan kata lain, kita hidup dalam dua dimensi: dunia batin dan dunia fisik. Pikiran dan kenyataan saling berhubungan, saling mempengaruhi, dan pada akhirnya, membentuk siapa kita. Tidak ada pikiran yang sepenuhnya terlepas dari dunia tempat kita berada, dan tidak ada kenyataan yang bisa lepas dari cara kita memahaminya. Ada ikatan yang tak terpisahkan antara keduanya.

Namun, ikatan ini bukanlah sesuatu yang statis. Ia selalu berubah, berkembang, dan bisa dibilang dinamis. Misalnya, kita hidup dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh gagasan-gagasan tertentu---tentang moralitas, keadilan, dan hak asasi manusia. Gagasan-gagasan ini membentuk kenyataan sosial kita, namun pada saat yang sama, kenyataan sosial tersebut mempengaruhi cara kita berpikir. Ketika ada ketidakadilan, pikiran kita akan berusaha mencari solusi dan menciptakan gagasan baru tentang apa yang seharusnya benar.

Di titik inilah kita dapat melihat sebuah paradoks: meskipun kenyataan sering kali tampak lebih kuat, kita tidak bisa mengabaikan peran pikiran dalam membentuk realitas. Pikiran manusia bukanlah sesuatu yang dapat dipandang sepele. Ia adalah kekuatan yang dapat mengubah dunia, menciptakan perubahan, dan memberi makna pada eksistensi kita. Tetapi, dunia nyata juga tidak pernah benar-benar bisa dijinakkan oleh pikiran kita. Ada ketegangan yang terus-menerus antara keinginan kita dan apa yang tersedia di luar sana.

Akhirnya, dalam menggali hubungan antara pikiran dan kenyataan, kita akan menemukan bahwa manusia tidak pernah bisa benar-benar terlepas dari dua kutub ini. Seperti halnya dua sisi mata uang, keduanya saling terkait dan mempengaruhi. Pikiran kita membentuk kenyataan kita, dan kenyataan kita membentuk pikiran kita. Dalam perjalanan hidup, kita belajar untuk menyelaraskan keduanya, mencoba memahami bahwa tidak ada satu pun yang lebih dominan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pikiran untuk mengubah dunia, dan kita juga tidak bisa hanya terpasung oleh kenyataan yang ada. Sebab, kita adalah makhluk yang berpikir, tetapi juga makhluk yang hidup dalam kenyataan.

Eksistensi kita adalah tarian antara konsep dan kenyataan, di mana keduanya tidak pernah bisa dipisahkan, hanya bisa dipahami dalam kedalaman ikatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun