Mohon tunggu...
RedyAl Musyaa
RedyAl Musyaa Mohon Tunggu... Guru -

Seorang hamba dengan imajinasi liar, membungkuk di keramaian luar, bagai seekor katak di hadapan ular.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Kembali bukan untuk Tinggal

5 Juli 2017   11:46 Diperbarui: 5 Juli 2017   13:15 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://travel.tribunnews.com


Semua bermula pada pukul 2.30 sore. Ketika dia mencium pipi kedua orang tuanya serta menyalami kakak dan adiknya, di situlah janjinya kembali ia penuhi. Pergi berlahan meninggalkan mereka dengan mata berbinar. Terharu akan janji. Dan moment itupun berlalu, dengan gagah ia menaiki satu-satu anak tangga pesawat, melambaikan tangan pada keluarganya. Bekali-kali. Mungkin orang lain tertawa melihatnya, seperti orang kampungan saja. tapi ingat! Itu lambaian penuh makna. Hanya mereka yang punya hati malaikat saja yang bisa merasakannya.

Kembali mata anak itu berair. Nafasnya tak teratur. Dan begitu juga dengan kekuarganya yang terus memantau kepergian anaknya dari balik pagar kayu. Matanya basah dan mulut mereka tak pernah berhenti memanjatkan doa. Berkomat kamit. Berharap ia pulang dengan membawa sejuta kebahagiaan, sejuta kejutan, dan sejuta impian yang telah ia janjikan. Insyaa Allah.

Pesawat berlahan bergerak. Terbang meninggalkan jejak anak itu. Orang-orang terlihat kecil dari arah sini. Anak itu menempelkan tangannya di jendela pesawat dan menggenggam pulau itu. Ia makin optomis dengan impian dan harapannya. Iihat saja, di atas sini ia melihat segalanya jadi kecil. Apapun bisa ia genggam. Begitu pun dengan janji-janjinya pada keluarganya. Pukul 4.00. Tiba di bandara. Anak itu tiba, kembali mengambil antrian untuk teransit menuju tempat tujuan akhirnya. Kota yang orang-orang bilang dengan kota yang akan menguji intelektual, emosional, dan spritual seseorang. Ia kembali akan berperang dengan waktu, rasa malas, godaan, dan hinaan. Masa bodo buatnya. Janji harus ditepati.

Kabar menyedihkan terdengar di sela-sela penantian. Pesawat yang akan ia naiki pukul 9.00 malam ini, delay. Ditunda sampai jam 12 malam. Woww... waktu yang cukup lama baginya. para penumpang lain mengeluh, gerutu sana sini tidak menerima kenyataan. Anak itu tenang. Buku novel dari penulis favoritnya ia ambil dari dalam tas compengnya. Mengambil tempat yang tenang, jauh dari kegaduhan dan mulai membaca. Asyik dan menyenangkan. Bisa dilihat dari mimik wajahnya yang berubah-rubah.

Beberapa jam berlalu. Suara wanita di pojokan sana bergema di speaker-speaker bandara. Mengumumkan. Anak itu tersenyum setelah mendengarnya, menutup dan memasukkan bukunya ke dalam tas compeng. Dan bergegas ikut antri di puluhan orang-orang yang bermuka masam.

"Huh! Lama banget nunggunya... Ngapain sih pake acara delay segala. Gue kan ada pertemuan penting besoknya. Aaarrrgh!" gerutu salah seorang penumpang. Berjas lengkap dan bersepatu pantopel. Kelihatannya ia orang yang super sibuk.

Anak itu berbeda dengan yang lain. Ia malah menangkupkan kedua tangannya, bersyukur dan diusapkannya pada wajah bahagia itu. Baginya, yang terpenting adalah bisa berangkat ke kota tujuannya tengah malam ini. Karena besok pun ia sudah ditunggu bermacam-macam tugas dari kampusnya. Sandal kotor anak itu sudah menginjak lantai pesawat. Wajar, ia tinggal di kampung yang dijuluki pulau bertanah merah. Itu mungkin karena kadar besinya yang tinggi. Dilihat dari satu pabrik nikel terbesar di pulau itu. Dengan hati-hati ia memasukkan barang-barang bawaannya ke dalam bagasi di langit pesawat. Wajar, banyak teman-teman kampusnya menitip oleh-oleh khas daerahnya. Pesawat kedua yang ia naiki kembali lepas landas menuju kota tujuan. Dengan janji-janji itu pastinya. Tengah perjalanan ia langsung tertidur, letih seharian tak beristirahat. Raut wajah keletihan seorang anak biasa.

Dengkuran-dengkuran para penumpang lain pun terdengar. Seolah menjadi musik pengganggu bagi yang tidak tidur saja. Anak itu bangun setelah mendengar suara perempuan dari speaker pesawat bahwa sebentar lagi akan mendarat dan perintah untuk mengencangkan sabuk pengaman tak luput. Mulut anak itu terlihat berkomat-kamit ketika ban pesawat hendak menyentuh landasan. Menegangkan sakali. Dan beberapa menit berlalu, pesawat itu sudah landing dengan sempurna. Syukurlah.

Bersambung di bagian dua...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun