Mohon tunggu...
Radityo Ardi
Radityo Ardi Mohon Tunggu... Lainnya - Cuma manusia biasa, banyak salahnya. Gimana donk?

Lewat 7 tahun lebih tinggal di Singapura. Banyak pelajaran, masih banyak juga yang harus dipelajari dari negeri yang disebut titik merah di peta oleh Habibie. Blog lainnya di https://mas-rdz.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memahami Keterbatasan Kita di Ruang Alam Semesta

13 Juni 2020   13:14 Diperbarui: 19 November 2020   11:23 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Free-Photos from Pixabay

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi
Kalau misalkan kita punya kemampuan untuk pindah ke titik B, maka batas-batas "observable universe" tersebut juga akan berpindah. Yang tadinya kita bisa melihat titik C, sekarang tidak bisa. Titik A menjadi ujung "observable universe" yang baru, dan muncul titik D sebagai batas baru. Dan untuk pindah ke ujung "observable universe" untuk mengamati dimensi lain diluar yang kita tahu inilah yang kita umat manusia masih belum mampu.

Para pelaut kita zaman dahulu juga selalu berpikir bahwa lautan ini tak ada batasnya, dan ketika itu masih sebatas teori. Menghampar lautan samudera luasnya, hingga tak terhingga jaraknya. 

Toh ternyata setelah diteliti lebih jauh, dieksplorasi melalui ekspedisi kapal (sampai kita dijajah Belanda), pada akhirnya juga kembali ke titik yang sama hingga akhirnya para peneliti setuju dengan fakta bahwa bumi itu bulat.

Sama halnya dengan alam semesta. Bedanya, kita tidak hanya bisa melihat ke depan, ke belakang, ke kanan dan ke kiri, kita bisa melihat 360 derajat ke atas dan ke bawah juga. Sama halnya seperti kita berada di titik tengah sebuah bola.

Maka dari itu, keliru jika kita sebut alam semesta ini tidak terbatas. Kita hanya bisa mengobservasi sebatas teleskop tercanggih yang umat manusia punya. Dan keliru juga jika kita sebut alam semesta ini terbatas. Karena dengan adanya teknologi baru yang kita punya, kita bisa melihat lebih jauh lagi terus dan terus. Itu kenapa sekarang bahasa ilmiahnya adalah "observable universe".

Lalu, bagaimana caranya tahu alam semesta ini ujungnya di mana?

Mudah saja, sama seperti konsep di atas, kita hanya perlu pindah dari bumi ke ujung titik "observable universe" terjauh. Dan itupun kalau kita bisa. Lha wong titik terjauh eksplorasi manusia secara fisik saja baru sampai ke bulan, dan menggunakan alat/satelit saja baru sampai melewati planet Pluto masuk ke sabuk Kuiper.

Bagaimana sejarah observasi luar angkasa?

Di awal zaman kegelapan, umat manusia mengamati luar angkasa dengan mata telanjang, nggak cukup. Penasaran, kita pake lensa teropong sederhana. Galileo Galilei mengamati planet Saturnus sebagai planet yang punya telinga. Hingga akhirnya, setelah menambah kemampuan lensa teropongnya, muncul bentuk akhirnya Saturnus.

Gambaran planet Saturnus (tahap-tahapnya). http://galileo.rice.edu/sci/observations/saturn.html 
Gambaran planet Saturnus (tahap-tahapnya). http://galileo.rice.edu/sci/observations/saturn.html 

Makin penasaran lagi, kita manusia sampai bangun teleskop pengamatan besar Boscha seperti yang ada di Lembang, Bandung. Batas-batas "observable universe" makin meluas. Karena terkadang tertutup awan, terdistorsi cahaya lampu kota, di tanggal 24 April 1990 kita manusia meluncurkan teleskop luar angkasa Hubble, yang membuat batas-batas "observable universe" seperti sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun