Mohon tunggu...
Catatan

Merintis Jejak, Meretas Luka

5 Juni 2012   14:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:22 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ring of fire, cincin api, tapal kuda. Merupakan deretan daerah-daerah yang sering 'diintervensi' oleh gempa bumi dan letusan gunung berapi. Terbentang dari Selandia Baru sampai Palung Peru.

Sesaat setelah melihat gambarnya di website-serba-ada, ternyata hampir seluruh wilayah daratan maupun lautan Indonesia dilahap oleh garis ilustrasi cincin api tersebut.

Mengingatkan saya kebelakang sekitar 8 tahun yang lalu, hari itu hari minggu, ketika serentak televisi nasional menayangkan estafet film kartun, tradisi yang sudah mengakar bertahun-tahun, tidak tahu siapa yang memulai. Estafet tersebut sedikit terganggu, terputus oleh Breaking News yang seketika berbarengan juga di semua televisi nasional. "Wah ternyata ada Tsunami", berbicara dalam hati sambil masih meyakinkan diri sendiri kalau estafet tetap akan dilanjutkan.

Ternyata bencana Tsunami yang terjadi hari itu lebih mengerikan dari yang saya duga, Aceh dan sekitarnya diguncang gempa dengan goyangan 9.1 dalam skala Richter, informasi yang saya ketahui sekitar 1 jam setelah Breaking News berjalan. Dahulu belum ada informasi di Televisi bernada "Tuuuuuuut..." yang mengabarkan kalau sekarang sedang terjadi gempa bumi dan berpotensi tsunami, informasi kala itu belum secepat sekarang.

9.1 memang bukan angka yang main-main, 170.000 jiwa seketika menjadi korban, angka yang tidak termasuk korban makhluk hidup lainnya ataupun korban materi. Gelombang air laut menyapu daratan, mericuhkan apa yang ada di dalamnya.

Gunungan manusia tak bernyawa saat itu menjadi pemandangan yang lazim, tak tahu mau dibawa kemana, penanganan yang lamban membuat tubuh para korban tewas menggelembung bengkak karena pembusukan yang disebabkan oleh Mikroorganisme dan reaksi enzimatis yang terus berjalan tak terkendali karena organ pengendali telah nonaktif. Listrik padam, bukan karena jadwal rutin, namun memang hancur habis diterjang tsunami infrastrukturnya. Air bersih sukar, sudah bercampur jadi satu dengan air laut. Chaos.

Bantuan bermunculan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, salah satunya bahan pangan, yang seingat saya pada saat itu menumpuk busuk di bandara, karena sulitnya  pendistribusian. Sudah sulit semakin sulit saja. Namun tidak dapat dipungkiri pada saat genting seperti itu jiwa kemanusiaan masyarakat Indonesia boleh diacungi jempol, baik yang dari individu sampai ke tingkat partai politik, semoga saja dasarnya memang membantu bukan yang lain.

Kian hari, bekas-bekas tsunami tersebut mulai hilang, ditimpa tanah dan batu bata, aspal. Semua mulai dibangun dari awal. Infrastruktur, alur informasi, dibangun sedemikian rupa dengan memperhitungkan kemungkinan bencana alam yang sama terjadi di masa yang akan datang, antisipasi.

Namun tetap ada satu yang tidak dapat dibangun, dibuat ulang, ataupun dimodifikasi. Lempeng. Lempeng-lempeng yang terus bergerak liar, yang bertanggung jawab terhadap besarnya goyangan 9.1 skala Richter, yang bertanggung jawab terhadap terpicunya Tsunami. Tetap akan seperti itu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun