Mohon tunggu...
Himawan Pradipta
Himawan Pradipta Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Copywriter

Teknisi bahasa di perusahaan konsultasi teknologi di Jakarta Barat. Suka membaca, nonton film, dan berenang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengucap "Assalamualaikum": Antara Doa, Formalitas, dan Kesucian

16 November 2015   11:42 Diperbarui: 16 November 2015   12:04 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=""Mengucap Salam dan Berjabat Tangan" (sumber: majelis imu)"][/caption]Suatu siang, kuliah beres, tak ada tugas, dan dengan keadaan perut terisi, saya berencana langsung meluncur ke kosan untuk bobo ganteng. Hehe. Di ambang pintu gedung kuliah, saya langsung membayangkan nikmatnya kasur, bantal empuk, dan guling yang siap saya peluk-peluk. Tapi, ya rencana hanya rencana. Semuanya pun buyar ketika mendapati temen-temen sekelas, yang sudah beratus-ratus tahun tak bersua, lagi duduk di bangku tak jauh dari gedung kuliah. Melihat mereka asyik ngobrol, saya terdorong untuk menyapa dan temu kangen. Yah, setidaknya untuk setor muka.

Singkat kata, dengan lantang, saya kemudian mengucapkan "assalamualaikum", dan tiba-tiba semuanya berhenti bicara. Hanya satu orang yang menjawab salam saya (itupun kalimatnya tidak lengkap), sisanya hanya diam; entah karena bingung, canggung, atau curiga sambil berpikir, "duh jangan-jangan gue mau didoktrin nih." Hehehe. Ya wallahu alam. Saya hanya bisa menduga-duga.

Sebetulnya, yang membuat saya menduga mereka berpikir seperti itu adalah karena saya juga pernah punya versi cerita terkait itu. Kalau saya tidak keliru, saat itu isu tentang pendoktrinan sedang hangat menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa baru. Ada sejumlah mahasiswa, yang entah iseng atau memang benar terjadi pada dirinya, yang menulis di media sosial bahwa mereka pernah dihampiri oleh asing saat sedang sendirian. Tampilannya benar-benar "mengerikan," menurutnya. Mengenakan baju koko, celana ngatung, dan peci, belum lagi jenggotnya yang menjuntai. Dan orang itu akan berbicara tentang khilafah atau jihad, hingga di satu poin dalam percakapannya, orang itu seperti "mengajak" untuk ikut dalam "proses kaderisasi" organisasi mereka. Peristiwa ini juga sebenarnya terjadi pada saya, sewaktu saya jadi mahasiswa baru. Ya Allah, benar-benar ada garis tipis antara suuzon dan bersikap waspada.

Namun, teman-teman lain yang membaca itu langsung menghakimi ajakan orang asing tersebut sebagai pembibitan bakal teroris. Ha! Serem bener..

Tapi, kembali lagi ke cerita tadi. Setelah beberapa menit basa-basi, seorang kawan saya yang tadinya diam sama sekali akhirnya bertanya apakah saya sedang sibuk berorganisasi atau tidak, hingga akhirnya saya tau hilir pembicaraan kami akan berujung di mana. Namun inti cerita saya ini sebetulnya bukan terletak pada organisasi mana yang saya ikuti, tapi tentang salam saya yang tak terjawab. Dan pengalaman itu bukan yang pertama kali.

Kerap juga saya mendapati seseorang menjawab telepon dengan mengucap salam yang struktur kalimatnya jauh dari struktur yang seharusnya. Saya mendengar "samlekum!" atau "lamlekum!" atau, yang paling pendek, "mekom!", dengan cara pengucapan yang sangat cepat, seolah mereka tak memedulikan lagi makna dari salamnya dan memperlakukannya sebagai sapaan formalitas belaka, baik kepada kaum yang lebih muda maupun yang lebih tua. Dengan kata lain, nilai-nilai pengharapan dalam salam itu bahwa orang yang kita beri salam akan "mendapatkan keselamatan, keberkahan dalam umur, mati dan hidupnya, dan diselamatkan dari bahaya tangan dan lidahnya" seakan-akan luntur seiring dengan struktur kalimat yang cacat dan pengetahuan tentang hakikat salam yang turut mengendur.

Tidak hanya itu, ucapan assalamualaikum, yang di dalamnya mengandung doa-doa istimewa, sekarang seolah terdengar tak ada bedanya dengan halo, hai, atau sapaan tertentu lainnya. Bisa dikatakan bahwa ini pun terjadi mengingat sebagian masyarakat kita sudah terlanjur menelan mentah-mentah fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam saat ini. Sama halnya seperti salah satu karakteristik orang-orang di budaya Jawa, di mana orang-orang yang hidup dalam satu lingkungan, secara alamiah, akan merasa memiliki hubungan darah antara satu sama lain, ucapan salam hanya dikategorikan sebagai kata sapa dalam area broca otak mereka.

Belum selesai, peristiwa serupa terjadi saat saya sedang menyimak dua penyiar radio di sebuah stasiun musik. Di awal sesi siaran, seorang dari mereka mengucapkan salam, dan yang lainnya langsung merespons dengan nada jenaka "Walaikumsalam Pak Aji! Batuk Pak Haji?!", yang saya akui membuat saya senyum-senyum sendiri, tapi sebetulnya agak kurang pada tempatnya. Tidak hanya itu, di sesi lain, ia bahkan berkelakar "ah sok suci lo, [nama penyiar yang lain]!" sambil diiringi dengan gelak tawa dari keduanya. Pertanyaan pun muncul: apa ada hubungannya mengucap salam dengan kesucian seseorang? Apakah kalau seseorang memberi salam lalu ia berarti lebih "suci", apapun definisinya?

Kalau berbicara dari sudut pandang agama Islam, mengucap salam hukumnya sunnah, yang wajib adalah menjawabnya. Ucapan salam juga ternyata tidak hanya dilihat sebagai "sunah Nabi Muhammad SAW" sebagai sarana perekat ukhuwah islamiyah antarumat Islam di seluruh dunia, tetapi juga digunakan "dalam kultur Kristen di Timur Tengah", yang artinya juga kedamaian dan keselamatan. Hanya saja, bentuk kalimatnya yang agak berbeda, karena mereka menggunakan bahasa Ibrani, yaitu shalom aleichem.

Hayolo. Ucapan ini ternyata fleksibel! Kultur satu memperlakukan ucapan ini berbeda dengan kultur yang lainnya. Ini bukan berarti kemudian bisa dijadikan pendapat bahwa mengucap assalamualaikum adalah bagian dari kultur tertentu yang dilanggengkan masyarakat tertentu; sama halnya dengan membungkukkan badan saat bertemu dalam kultur Jepang, berpelukan dalam kultur Amerika, atau bercipika-cipiki-cipika dalam kultur Turki, tapi tentu saja salam juga harus dimaknai lebih dari itu.

Ia harus diresapi sebagai sebuah tanda kasih sayang, bentuk doa dan pengharapan bagi baik pemberi maupun penjawabnya, sebagai dzikir kepada Allah swt,dan pengingat diri bahwa seluruh keberadaannya adalah sebuah "bahaya" dan, kalau meminjam kata-kata Dewi Lestari, sebuah "virus yang mematikan bagi keberlangsungannya sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun