"Masa depan bukan untuk ditakuti, tetapi untuk disiapkan dengan bijak dan penuh harap." Refleksi seorang guru.
Senja selalu punya caranya sendiri menyapa jiwa: pelan, lembut, tapi pasti. Tidak secerah pagi, namun tetap menghadirkan cahaya. Di usiaku yang hampir genap 50 tahun, saya mulai menyambut senja itu "masa pensiun"bukan dengan resah, melainkan dengan rasa syukur dan secercah harapan.
Warisan Hidup dari Dua Kutub
Saya lahir dari rahim seorang guru sekolah dasar dan dibesarkan oleh tangan seorang petani. Ibu "lembut dan sabar" mengajariku bahwa kesetiaan tidak selalu berisik. Ia bekerja dalam diam, menyimpan cinta dalam tindakan kecil yang konsisten. Sementara bapak, sosok yang keras, disiplin, kadang temperamentaltapi di balik suaranya yang lantang, tersembunyi kasih dan niat baik yang murni.
Mereka seperti dua kutub yang membentuk diriku. Dari ibu, aku belajar menyentuh hati murid dengan kelembutan. Dari bapak, aku menyerap semangat kerja keras, ketegasan, dan kejujuran dalam bertindak.
"Bunga tidak tumbuh di tanah datar. Ia butuh guncangan. Mental pun tak terbentuk tanpa tempaan."
Kini, ketika aku menoleh ke belakang, aku tahu: karakter mereka adalah warisan sejati. Nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu yang menjagaku tetap utuh dalam menghadapi gelombang kehidupan.
Ketika Guru Belajar dari Kehidupan
Saya mengabdi sebagai guru di sebuah sekolah Katolik. Dalam perjalanan ini, saya menyadari bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar, tetapi juga terus belajar termasuk belajar mempersiapkan diri saat tugas formal sebagai pendidik usai.
Beberapa tahun lalu, saya terlibat dalam tim pelatihan guru-guru yang menjelang pensiun. Banyak di antara mereka yang merasa gamang: "Setelah ini, saya akan jadi siapa?" "Apa yang bisa saya lakukan nanti?" Pertanyaan-pertanyaan itu membuka mata saya. Persiapan pensiun bukanlah proyek satu atau dua tahun. Ia adalah proses panjang yang perlu dimulai sejak dini.