Mohon tunggu...
H. Rackhmad Kristianto Adi
H. Rackhmad Kristianto Adi Mohon Tunggu... Kurikulum

Saya Guru Fisika di SMA Sedes Sapientiae Jambu, sekolah swasta Katolik berasrama yang berfokus pada pembentukan karakter dan pendidikan holistik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salib, Hujan, dan Doa yang Menyatu: Sebuah Kontemplasi Jumat Agung di Sadang

18 April 2025   23:00 Diperbarui: 18 April 2025   22:54 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Awal Ibadat Jumat Agung. Dokumen Pribadi

Salib, Hujan, dan Doa yang Menyatu: Sebuah Kontemplasi Jumat Agung di Sadang

Langit di atas Kapel SPM Ratu Rosari Sadang, Paroki Bedono tampak kelabu sore itu, seolah turut merasakan beban Jumat Agung. Hujan turun perlahan, menciptakan irama sendu yang mengiringi langkah kaki saya dan anak menuju gereja. Tak banyak kata terucap. Hening menyelimuti suasana, seakan semesta pun mengajak kami memasuki ruang kontemplasi.

Begitu memasuki gereja, saya disambut oleh sunyi yang tidak biasa. Tak ada lilin menyala, tak ada kain-kain penutup atau patung-patung suci. Hanya salib besar berdiri kokoh, tanpa hiasan. Ruang yang biasanya penuh sukacita kini berubah menjadi tempat permenungan. Hari ini, kita tidak merayakan kemenangan, melainkan merenungkan luka yang membawa keselamatan.

Di halaman kapel, para misdinar, lektor, prodiakon, dan Romo berjalan dalam prosesi yang penuh kekhusyukan. Tak ada lagu pengiring. Hanya suara hujan dan derap langkah yang menuntun kami ke altar.

Saat tiba di altar, Romo FX Agus Suryana Gunadi, Pr, tidak langsung berdiri. Ia berlutut, lalu tengkurap di depan altar. Sebuah isyarat kerendahan hati manusia di hadapan Allah. Petugas liturgi dan umat pun bersujud bersama. Dalam diam itu, kita tidak hanya menyaksikan ritus, tetapi merasakan: kita sedang berhadapan dengan Misteri yang Mahakudus.

Sabda yang Menjadi Cermin Jiwa

Perayaan dilanjutkan tanpa Ekaristi. Ini bukan waktu untuk merayakan, melainkan untuk merenung. Bacaan dari Yesaya 52:13--53:12 mengajak kami menatap sosok Hamba Tuhan yang menderita, dihina, tak dianggap. Namun justru melalui luka-luka-Nya, dunia diselamatkan. Bacaan ini tidak hanya menggambarkan Kristus, tetapi menggambarkan sisi paling rapuh dari hidup manusia---penderitaan yang, jika dipeluk dengan iman, menjadi jalan keselamatan.

Bacaan dari Ibrani 4:14-16; 5:7-9 mengingatkan kita bahwa Yesus, meskipun adalah Anak Allah, tidak luput dari penderitaan manusiawi. Ia menangis, berseru, dan memohon kepada Bapa dalam pergumulan yang nyata. Dalam setiap keluh dan tangis-Nya, saya mendengar gema doa-doa kita: jeritan lelah para ibu, perjuangan sunyi para ayah, kebingungan anak-anak yang mencari arti hidup. Dan di sana, Kristus tidak hadir dari kejauhan atau dari ketinggian, tetapi hadir nyata di tengah-tengah kita, merasakan dan memikul beban yang sama.

Kemudian kisah sengsara dibacakan. Bukan dibaca biasa, tetapi dinyanyikan. Suara para petugas liturgi mengalun lembut, menghidupkan ulang derap langkah Yesus menuju Golgota. Setiap bait adalah irama luka, setiap nada adalah tangisan kasih. Saya terdiam. Lagu itu tidak hanya terdengar, tapi masuk dan tinggal dalam hati.

Pasio Kisah Sengsara Yesus Kristus. Dokumen Pribadi
Pasio Kisah Sengsara Yesus Kristus. Dokumen Pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun