Salib, Hujan, dan Doa yang Menyatu: Sebuah Kontemplasi Jumat Agung di Sadang
Langit di atas Kapel SPM Ratu Rosari Sadang, Paroki Bedono tampak kelabu sore itu, seolah turut merasakan beban Jumat Agung. Hujan turun perlahan, menciptakan irama sendu yang mengiringi langkah kaki saya dan anak menuju gereja. Tak banyak kata terucap. Hening menyelimuti suasana, seakan semesta pun mengajak kami memasuki ruang kontemplasi.
Begitu memasuki gereja, saya disambut oleh sunyi yang tidak biasa. Tak ada lilin menyala, tak ada kain-kain penutup atau patung-patung suci. Hanya salib besar berdiri kokoh, tanpa hiasan. Ruang yang biasanya penuh sukacita kini berubah menjadi tempat permenungan. Hari ini, kita tidak merayakan kemenangan, melainkan merenungkan luka yang membawa keselamatan.
Di halaman kapel, para misdinar, lektor, prodiakon, dan Romo berjalan dalam prosesi yang penuh kekhusyukan. Tak ada lagu pengiring. Hanya suara hujan dan derap langkah yang menuntun kami ke altar.
Saat tiba di altar, Romo FX Agus Suryana Gunadi, Pr, tidak langsung berdiri. Ia berlutut, lalu tengkurap di depan altar. Sebuah isyarat kerendahan hati manusia di hadapan Allah. Petugas liturgi dan umat pun bersujud bersama. Dalam diam itu, kita tidak hanya menyaksikan ritus, tetapi merasakan: kita sedang berhadapan dengan Misteri yang Mahakudus.
Sabda yang Menjadi Cermin Jiwa
Perayaan dilanjutkan tanpa Ekaristi. Ini bukan waktu untuk merayakan, melainkan untuk merenung. Bacaan dari Yesaya 52:13--53:12 mengajak kami menatap sosok Hamba Tuhan yang menderita, dihina, tak dianggap. Namun justru melalui luka-luka-Nya, dunia diselamatkan. Bacaan ini tidak hanya menggambarkan Kristus, tetapi menggambarkan sisi paling rapuh dari hidup manusia---penderitaan yang, jika dipeluk dengan iman, menjadi jalan keselamatan.
Bacaan dari Ibrani 4:14-16; 5:7-9 mengingatkan kita bahwa Yesus, meskipun adalah Anak Allah, tidak luput dari penderitaan manusiawi. Ia menangis, berseru, dan memohon kepada Bapa dalam pergumulan yang nyata. Dalam setiap keluh dan tangis-Nya, saya mendengar gema doa-doa kita: jeritan lelah para ibu, perjuangan sunyi para ayah, kebingungan anak-anak yang mencari arti hidup. Dan di sana, Kristus tidak hadir dari kejauhan atau dari ketinggian, tetapi hadir nyata di tengah-tengah kita, merasakan dan memikul beban yang sama.
Kemudian kisah sengsara dibacakan. Bukan dibaca biasa, tetapi dinyanyikan. Suara para petugas liturgi mengalun lembut, menghidupkan ulang derap langkah Yesus menuju Golgota. Setiap bait adalah irama luka, setiap nada adalah tangisan kasih. Saya terdiam. Lagu itu tidak hanya terdengar, tapi masuk dan tinggal dalam hati.