Mohon tunggu...
Rachmat Willy
Rachmat Willy Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat fiksi

Menikmati hidup dengan membaca, menulis, dan ngeblog. Follow saya di @RachmatWilly pasti di follback.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta Harus Kembali ke Pembelajaran Kontekstual

25 Mei 2016   13:50 Diperbarui: 25 Mei 2016   15:44 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan artikel Kompas tentang pendidikan karakter di Papua. Sumber: acdpindonesia.wordpress.com

Bukan salah Ki Hadjar Dewantara jika semboyan tentang pendidikan yang disampaikannya justru dipakai di negara lain selain Indonesia tercinta. Bukan salah para pendiri bangsa ini pula jika Pancasila ternyata tidak menjadi dasar dari segalanya yang ada di negeri ini termasuk dalam dunia pendidikan.

Terus salah siapa? Tak perlu dijawab juga karena tulisan ini dibuat bukan untuk mencari kesalahan namun mencoba memberikan satu usul dan saran tentang perbaikan dunia pendidikan Indonesia ke depan.

Bicara soal gerakan semesta, maka seharusnya gerakan itu dilakukan di semua tempat, dalam suatu waktu yang sama, dan dalam segala kondisi. Gerakan semesta harus dipahami bukan sebagai pemaksaan kehendak satu pihak atas pihak yang lain namun berlandaskan keinginan yang sama yang berawal dari buah pikiran yang luhur untuk kemajuan bangsa. Dalam dunia pendidikan, gerakan semesta harus fokus pada tujuan besar dan bukan tujuan masing-masing wilayah. Tapi salahkah kalau punya tujuan wilayah?

Sewaktu saya bermukim di Papua, saya sempat mendengar ide-ide pikiran ke depan yang diutarakan salah satu pemimpin kala itu. Papua harus punya seribu orang PHD dalam 10 tahun ke depan. Papua harus bisa mengirim anak-anaknya untuk belajar di Harvard atau bahkan MIT. Sukseskah? Ya. Sukses. Kita dapat melihat berita tentang anak-anak Papua yang mulai merambah dunia. Ada yang kuliah di MIT, Harvard, dan beberapa kampus bergengsi internasional lainnya. Jadi tidak ada yang salah mempunyai tujuan wilayah, tapi tujuan wilayah harus menjadi bagian dari tujuan besar yaitu tujuan pendidikan nasional atau bangsa.

Kesulitannya adalah bangsa ini sangat majemuk. Permasalahan di satu wilayah belum tentu menjadi masalah di wilayah lain. Kesuksesan penerapan satu program di satu wilayah bisa berbuah petaka jika diterapkan di daerah yang lain. Jadi, bagaimana caranya agar gerakan semesta dipahami di setiap wilayah sebagai gerakan luhur yang harus dilakukan bersama-sama? Jawabnya hanya satu. Kembali ke pembelajaran kontekstual.

Menurut Elaine B. Johnson (2009) pembelajaran kontekstual adalah suatu sistim pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Johnson juga menyampaikan delapan komponen utama yang ada dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:

  1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections), sebagai individu yang sedang belajar siswa dapat menemukan minatnya dan memutuskan untuk memilih bekerja sendiri atau berkelompok, relasi dibangun berdasarkan kebutuhan bersama dan tujuan bersama. Dalam hal ini akan terjadi pula proses belajar sambil melakukan (learning by doing)
  2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work), sebagai bagian dari suatu wilayah, bagian dari suatu masyarakat, siswa dapat berusaha menemukan masalah dalam kehidupan nyata dan berusaha mencari solusinya. Dengan kata lain, siswa dapat melakukan pekerjaan yang signifikan: bertujuan, berurusan dengan orang lain, menentukan pilihan, dan menghasilkan produk nyata
  3. Belajar yang diatur sendiri (self regulated learning), untuk mencapai tujuannya siswa dapat memahami apa yang dia butuhkan. Siswa dapat mengatur apa yang harus dia pelajari terkait dengan kebutuhan tersebut
  4. Bekerjasama (collaborating), hampir semua masalah yang ditemukan tidak mungkin diselesaikan sendiri. Siswa akan belajar berkomunikasi dengan baik dan juga keterampilan untuk saling mempengaruhi
  5. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking), dalam memecahkan masalah siswa akan “dipaksa” untuk berpikir kritis dan kreatif. Keputusan demi keputusan harus dibuat. Siswa akan belajar bahwa ada konsekuensi dari tiap keputusan
  6. Mengasuh dan memelihara pribadi siswa (nurturing the individual), sebagai individu yang belajar, siswa sadar ada orang lain yang bisa dimintai tolong. Ada orang dewasa di sekelilingnya yang sudah lebih dulu menghadapi masalah yang sama dengan konteks yang sama dengan pengalaman yang jauh lebih banyak. Siswa akan belajar menghormati orang yang lebih tua dan juga menghormati teman-temannya
  7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards), siswa dimotivasi untuk dapat menyelesaikan sesuatu dengan kualitas terbaik yang bisa diberikannya
  8. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment), siswa menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia nyata untuk mencapai tujuan yang bermakna.

Memang tidak semua hal dapat dicapai begitu saja sesuai uraian Johnson, namun semangat pembelajaran kontekstual ternyata sudah membuahkan hasil di beberapa tempat di Indonesia. Oh ya? Apa saja?

Pernahkah pembaca mendengar atau membaca tentang pendidikan harmoni di Sulawesi Tengah? Siapa yang sudah lupa konflik berbau agama yang terjadi di Poso? Nah, itulah awal munculnya pendidikan harmoni ini. Anak atau siswa diajak untuk mencapai tiga harmoni yaitu harmoni dengan diri sendiri, harmoni dengan sekitarnya, dan harmoni dengan alam. Melalui tiga harmoni ini, sedari kecil anak tidak lagi diajar untuk berkonflik hanya karena beda agama, beda suku, atau beda-beda yang lainnya. Konon kabarnya semangat pendidikan harmoni ini sudah tertular ke banyak sekolah di Sulawesi Tengah.

Apa lagi? Pernahkan pembaca mendengar atau membaca tentang sekolah hijau di Kalimantan? Tepatnya di daerah Sajingan di dekat perbatasan RI-Malaysia? Nah, awalnya di daerah ini marak dengan pembukaan lahan sawit yang bertubi-tubi. Seolah-olah hanya untuk sawit. Hanya untuk bekerja di kebun orang. Wawasan sempit dan tidak berkembang. Konsep pendidikan menawarkan sesuatu yang lain. Anak bisa belajar dari keterbatasan. Belajar dari apa yang ada yang mereka dapat temukan dari kehidupan sehari-hari. Anak bisa belajar matematika dari menghitung setiap helai guguran daun yang jatuh tiap hari, memantaunya selama beberapa hari, dan kemudian belajar polanya sehingga akhirnya tahu berapa helai daun yang mungkin jatuh pada hari ketujuh. Hebat bukan? Bukan, karena itu hanya pikiran saya sendiri. Tidak ada pengajaran seperti itu. Tapi, kira-kira seperti itulah yang terjadi. Ruang kelas pindah menjadi ruang terbuka. Anak diajak berpikir bebas dan luas. Bagian dari semesta yang indah. Bumi Borneo yang hijau.

Sekolah hijau raih MDG's award. Sumber: pontianak.tribunnews.com
Sekolah hijau raih MDG's award. Sumber: pontianak.tribunnews.com
Masih belum cukup? Pernahkah pembaca mendengar atau membaca tentang pendidikan karakter Kulababong di Sikka atau Pakima Hani Hano di pegunungan tengah Papua? Apa itu Kulababong dan Pakima Hani Hano? Nah, untuk yang ini silahkan dibrowsing saja. Sudah cukup banyak paparan saya tentang pembelajaran kontekstual di atas. Tapi, bolehlah saya paparkan sedikit tentang pendidikan Kulababong. Pendidikan Kulababong adalah pendidikan karakter bagi siswa dengan mengajak siswa kembali pada kearifan lokal yang ada di kabupaten Sikka, propinsi Nusa Tenggara Timur. Kalau belum tahu dimana letak kabupaten Sikka, cobalah browsing lagu gemu famire yang terkenal untuk bergoyang itu, salah satu liriknya menyebut nama satu kota yaitu Maumere. Nah, itulah ibukota kabupaten Sikka. Kulababong sendiri berarti musyawarah, ini sangat sejalan dengan semangat Pancasila yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat.

Pendidikan Kulababong. Sumber: kupang.tribunnews.com
Pendidikan Kulababong. Sumber: kupang.tribunnews.com
Kembali ke konsep pendidikan sebagai gerakan semesta, ada banyak hal yang masih harus dirumuskan. Tidak bisa hanya mengumpulkan para ahli pendidikan di satu meja dan berharap dapat hasil yang valid. Tidak bisa pula hanya dengan bertanya pada praktisi yang biasanya hanya bermodal rumus coba-coba salah. Coba dan coba lagi kemudian salah lagi, dan kemudian tidak berhenti mencoba hingga akhirnya benar dan berhasil. Yang bisa dilakukan adalah mencari best practice yang sudah ada dan kemudian menggandengkannya satu sama lain. Tentu untuk dapat menggandengkannya perlu pengikat yang kuat yaitu tujuan bersama yang luhur dan mulia yaitu agar pendidikan Indonesia lebih baik ke depan. Pembelajaran kontekstual hanya satu dari caranya saja. Bukan merupakan satu tujuan akhir.

Tetap semangat untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun