Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Betapa Saktinya Kartu Pegawai RRI

23 Februari 2017   15:34 Diperbarui: 23 Februari 2017   15:46 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap kali Buyaku pergi meninggalkan rumah, selalu aku tanyakan ke ibuku, “Buyamaukemana, bu?” Dan dengan entengnya selalu ibuku menjawab, “buyamau nyariduit.”

Sama seperti kebanyakan anak di Kampung Kebon, kemang, Aku memanggil ayahku dengan panggilan Buya. Begitulah saban pagi dialog antara aku dan ibuku ketika motor Honda tua Buyaku lamat-lamat menjauh dari pendengaranku. Dasar anak kecil yang tak tahu kiasan kalimat itu, tadinya kusangka Buyaku pergi mencari uang yang jatuh di jalan, selokan, atau di rerumputan. Kok bisa ya, Buyaku nyari uang dan selalu dapat, padahal seringkali setiap pergi ke sekolah, aku selalu menunduk kebawah, dengan harapan kali aja dapat uang, namun uang itu tak pernah aku dapatkan, batinku

Sungguh, itulah pemahamanku dulu sebagai anak kecil. Mencari uang, ya dengan ‘nutur’ di jalanan. Padahal kalau saja ibuku menjawab, Buya mau pergi ke kantor, tentu aku tak punya imajinasi yang berlebihan.

Di Kampung Kebon dan Kampung Kemang, jarang atau bahkan tak ada ayah teman-teman sekolahku yang berprofesi sebagai PNS. Rata-rata mereka adalah peternak sapi, pedagang kelontong, kerja di LPPI atau --dan ini yang paling banyak-- “ngobyek”, bahasa kerennya broker. Mereka ngobyekin tanah atau rumah gedong untuk di jual atau disewakan. Ngobyek waktu itu adalah pekerjaan yang cukup menjanjikan. Maklum saja komisinya lumayan besar. Kala itu di Kemang banyak orang yang jual beli tanah masih melalui jasa broker atau calo kampung. Mereka biasanya berdinas dan ‘berkantor’ di warung nasi uduk. Pakaian mereka cukup parlente. Setiap hari kerjaan-nya duduk nongkrong di warung dengan ditemani segelas kopi. Topik obrolan diantara mereka selalu tentang tanah mana yang bakal di jual atau gedong mana yang bakal di kontrakan ke orang asing (bule).

Nah, ketimbang ayah teman-temanku, pekerjaan Buyaku cukup mentereng dan ‘berkelas’. Meski ia hanya pegawai negeri (PNS) rendahan golongan satu, namun title-nya cukup buat keder orang, yakni Pegawai Radio Republik Indonesia (RRI). Entah apa jabatan dan job-desk dari Buyaku, akupun sebagai anaknya tak tahu. Yang pasti, dengan menyebut sebagai pegawai RRI saja, membuat orang-orang tua di Kampung Kebon menaruh respek pada Buyaku, meskipun mungkin, mereka tak tahu bila Buyaku hanya seorang staf rendahan, orang lain tak akan menelisik lebih jauh.

Mengenai titlepekerjaan Buyaku ini, ada secuil kisah menarik yang membuat aku takjub dan kagum pada Buyaku. Ceritanya, saat ingin kembali pulang ke Jakarta, selepas mengantarku sekolah di Jombang, Buyaku pulang naik kereta api ekonomi. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan arus balik mudik lebaran. Beberapa kereta yang singgah di stasiun Jombang penuh sesak, hingga tak mungkin untuk masuk ke gerbong kereta. Sadar kalau dengan cara biasa Buyaku tak kanmungkin bisa masuk ke dalam gerbong, dengan cerdiknya ia menuju ke depan lokomotif. Mau apa neh Buyaku, batinku, masih tak mengerti. Sekelebat kemudian, kudengar ia berbicara dengan masinis kereta sambil menunjukkan tiketnya.

Pak, saya numpang di lokomotif ya, di gerbong penuh sesak, ini saya punya tiket” pinta Buyaku ke Masinis.

Gak bisa pak, loko ini bukan untuk penumpang, kalau mau bapak nunggu kereta tambahan berikutnya.” balas si Masinis dengan acuh tak acuh.

Jawaban masinis itu benar. Memang begitulah aturannya bila lokomotif hanya khusus untuk masinis dan pembantunya. Ruang itu tak boleh diisi oleh penumpang umum. Tak mau kalah gertak, dengan intonasi yang meyakinkan Buyaku kembali berargumen: “Pak, tolong saya pak, besok pagi-pagi saya harus siaran di istana” ujar ayahku. Sambil tangannya menyodorkan kartu pegawainya.

Mendengar kata siaran dan istana, agak keki juga masinis itu, maklum, waktu itu tak sembarang orang berani sebut istana atau punya kedekatan dengan istana. Apalagi mendengar kata siaran. Mungkin pikirnya masinis, Buyaku adalah orang penting, dan sangat dibutuhkan tenaganya untuk kegiatan siaran di istana,  

Oo.. bapak pegawai RRI ya, gak bilang kalau mau siaran, mari pak saya bantu” balas si masinis dengan ramah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun