Mohon tunggu...
Rachmat Hidayat
Rachmat Hidayat Mohon Tunggu... Sejarawan - Budayawan Betawi

a father, batavia, IVLP Alumni 2016, K1C94111, rachmatkmg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menelisik Motif Seseorang Menjadi Warga Negara (Asing) Amerika

15 Agustus 2016   14:07 Diperbarui: 16 Agustus 2016   07:25 2155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paspor Amerika Serikat. Republika

Saat menjadi tamu dari Kemeneterian Luar Negeri Amerika Serikat dalam program International Visitor Leadership 2016 (IVLP) Maret silam, aku, dan beberapa peserta lainnya ditemani oleh pendamping yang bertugas sebagai Liason Officer dan penterjemah bagi kami, peserta dari Indonesia. Maklum, tidak semua dari kami yang empat orang ini lancar ber cas cis cus dengan style American English. 

Menyadari bahwa program ini sangat penting bagi transfer pengetahuan dan menjalin mutual understanding di antara kedua anak bangsa, Indonesia dan warga Amerika, pihak Kemenlu USA tampaknya tidak mau mengambil risiko. Dan, supaya program berjalan efektif dan lancar, mereka pun menyediakan dua orang penerjemah untuk kami.

Kedua penerjemah kami telah lama tinggal dan menetap di Amerika. Lancar berbicara bahasa Indonesia dan Inggris. Wanita (WNI) bersuamikan WN Amerika, dan seorang lagi, pria, ber-WN- Amerika. Keduanya adalah orang asli Indonesia. Dikatakan asli karena keduanya sejak lahir, kecil dan tumbuh remaja tinggal di Indonesia, berdarah Indonesia, ditambah berayah dan ibu Indonesia. Namun, dalam perjalanannya suratan nasib lah yang membuat keduanya mempunyai WN yang berbeda.

Nah, saat senggang di waktu break kegiatan, iseng-iseng aku coba menelisik kisah ‘kepindahan’ pendampingku, sebut saja namanya Jonny, dari WNI ke WN Amerika. “Pak Jon, kenapa sih milih jadi WN Amerika?" selidikku.

(Jawabannya kurang lebih dalam redaksi yang bebas seperti ini) “Saya itu orangnya gak suka ribet Mas Rachmat. Coba bayangkan, saya dan keluarga tinggal disini (USA), mencari nafkah dan bekerja disini. Hampir dibilang jarang sekali kami pulang ke Indonesia. Bahkan pernah, saking jarangnya, selama 5 tahun itu paspor Indonesia saya nyaris bersih dari cap imigrasi Indonesia. Parahnya, meski saya jarang ke Indonesia atau bepergian ke luar dari Amerika, namun saya harus memperpanjang passport itu 5 (lima) tahun sekali. Dan itu sangat menyita waktu saya. Bayangkan saja, saya tinggal di California, untuk mengurus urusan keimigrasian (passport), saya harus terbang ke kedutaan di Washington DC. Butuh waktu 4 jam terbang, sudah itu ditambah pula dengan keruwetan birokrasi khas Indonesia. Jadi ya, saya memutuskan pindah jadi WN Amerika agar PRAKTIS saja,” ujarnya.

Kemudian dia menceritakan padaku tentang proses seseorang mendapatkan kewarganegaraan Amerika. Kebanyakan dari mereka (WNI atau WN luar Amerika yang melamar menjadi WN Amerika) sebelumnya telah mendapatan status Permanent Resident atau PR. PR adalah semacam pintu masuk untuk menjadi WN Amerika. 

“Saya pun juga demikian, Mas Rachmat”, ujarnya. Lalu ia kembali menjelaskan bahwa sebenarnya status PR dengan WN Amerika lainnya kedudukannya hampir tak ada beda. Semua hak dan kewajiban hukum yang melekat bagi seorang PR dan Warga Negara Amerika lainnya sama. Perbedaanya hanya pada urusan politik saja yakni WN Amerika boleh nyoblos Pemilu. Mereka boleh ikut election, pemilihan Presiden Amerika, Hanya itu, tak lebih.

Nah, di lain waktu, pendampingku yang seorang lagi sebut saja namanya Wati, karena ia menikah dengan WN Amerika, maka ia telah mendapatkan PR. Ia pernah ‘curhat’ padaku, “Mas Rachmat, enaknya gimana ya, apakah aku apply jadi WN Amerika atau tetap dengan status ini. Toh aku juga jarang sekali ke Indonesia. Hidupku lebih banyak di sini, di Amerika.”

Dengan bijak aku kasih pandangan. “Mbak Wati, kata Pak Jonny, PR itu kan gak beda dengan WN Amerika. Mempunyai hak dan kedudukan yang sama di mata hukum. Nah, buat apa pula ngelamar jadi WN Amerika. Toh dengan masih memiliki passport hijau Indonesia, mbak punya keterikatan batin dengan Indonesia, di samping itu kalau suatu saat mbak berencana ‘pensiun’ dan menghabiskan masa tua di tanah air, mbak bisa beli tanah dan rumah di Indonesia. Kalau tak salah kan kepemilikan tanah untuk WN Asing dilarang di Indonesia,” begitu kira-kira advisku. “Iya juga mas,” ujarnya menutup obrolan kami.

Nah, bicara mengenai kasus Arcandra Tahar, Menteri ESDM saat ini, perlu juga ditelisik latar belakang dan motif yang bersangkutan mendapatkan passport Amerika. Dari obrolanku dengan kedua orang pendampingku itu maka dapat diduga bahwa lantaran Arcandra telah lama tinggal dan bekerja di Amerika, tentu ia sebelumnya telah mendapatkan status Permanent Resident (PR)  sebagai syarat untuk ‘meningkatkan status’ nya menjadi WN Amerika.

Lalu apa yang menjadi motif Arcandra melamar jadi WN Amerika. Apakah motif nya sama dengan Pak Jonny itu, karena ribet harus gonta-ganti passport ataukah ada motif lain? Apapun motif dan tujuannya, hanya Tuhan dan Arcandra yang tahu. Namun dari situ kita bisa sedikit menilai jiwa dan semangat patriotisme yang bersangkutan terhadap bangsa dan tanah air Indonesia. 

Tentu kadar dan bobotnya berbeda dengan Umar Bakrie, guru yang bergaji kecil namun tetap setia dengan pengabdiannya. Nasionalisme Arcandra Tahar juga tak bisa disamakan dengan Ngadinu, tukang becak di Solo yang mengaku pernah menempeleng pemuda rakyat di tahun 1965.

Bicara masalah nasionalisme dan patrotisme, tentu akan panjang dan menyita energi kita. Ahh persetan dengan nasionalisme, ahh masa bodo dengan patriotsime, toh kewarganegaraan tidak ditanyakan malaikat maut saat kita meninggal, misalnya. Ok, aku tidak menyalahkan mereka yang punya pikiran itu, namun aku punya prinsip, bila seseorang telah meng-apply kewarganegaraan asing, bersumpah setia terhadap negara asing itu, maka yang bersangkutan tentu tak mau ambil pusing dengan apapun yang terjadi di Indonesia. Ia tentu saja lebih concern dengan Negara ‘barunya’ tempat ia mencari makan dan hidup. Tempat dimana ia menghabiskan waktu dan hidupnya. Indonesia? Nanti dulu.

Kenapa aku bisa pada kesimpulan itu karena dengan ia menjadi WN (asing) Amerika, misalnya, maka ia dapat menentukan kebijakan dan arah politik Bangsa Amerika dengan ikut pemilu misalnya. Lalu untuk apa pula seseorang bersusah payah menjadi WN (Asing) Amerika bila dengan status PR saja ia sudah mendapatkan segalanya di Amerika. 

Toh, cukup dengan status PR saja, kewarganegaran Indonesia-nya tak kan hilang. Lalu di mana letak kepeduliannya terhadap Indonesa bila –mungkin- saja ia tidak memilih presiden Indonesia, karena paspornya otomatis hangus akibat kebijakan dari UU Nomor 12/2016. Namun, terlepas dari apapun motif dan tujuannya, di mataku bagi seseorang yang sudah (pernah) menjadi WN Asing, tentu tak lah elok untuk dilibatkan membicarakan nasib dan masa depan (kemajuan) Indonesia ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun