Mohon tunggu...
Rachmah Dewi
Rachmah Dewi Mohon Tunggu... Penulis - DEW | Jakarta | Books Author | Certified Content Writer and Copywriter

Books Author | Certified Content Writer and Copywriter | Email: dhewieyess75@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Refleksi Hari Buruh: Mau Bekerja atau Mau Dikerjain?

3 Mei 2017   10:21 Diperbarui: 1 Mei 2019   15:21 2631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tommcifle.com

Setiap awal bulan mei, ada dua hari yang selalu ramai diperbincangkan masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional. Hari Buruh yang setiap tahunnya jatuh pada tanggal 1 Mei serta Hari Pendidikan Nasional yang setiap tahunnya jatuh pada tanggal 2 Mei, memang selalu menarik untuk ditulis menjadi sebuah artikel.

Saya sempat bingung sebenarnya, mau menulis artikel tentang apa. Tapi, kayaknya artikel tentang Hari Buruh jauh lebih menarik hati saya, mungkin karena saya bukan berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa lagi, melainkan sebagai pekerja. Hahaha cie elah pekerja!

Bisa dilihat, setiap tahunnya di tanggal 1 Mei para buruh melakukan aksi demo turun ke jalan, permasalahan yang mereka hadapi bermacam-macam. Salah satunya nih yang selalu mendominasi adalah para buruh tersebut meminta kenaikan upah / gaji dari apa yang telah mereka kerjakan.

Salah atau nggak sih sebenarnya mereka menyuarakan aspirasi demikian? Menurut saya tidak. Kenapa? Karena memang, para buruh tersebut menuntut keadilan perihal upah atau gaji mereka yang dianggap tidak sesuai. Upah sedikit namun kerjaannya banyak. Artinya upah tidak sebanding dengan beban kerja.

Refleksi Hari Buruh ini, kalau kita mau telusuri lebih dalam, bukan hanya pekerja buruh di pabrik saja yang menjadi sorotan. Namun para pekerja di kantoran, yang notabene-nya kantor besar yang sudah cukup punya nama, sebenarnya mempunyai masalah yang cukup kompleks untuk dibahas.

Saya tidak akan membahas kantor apa, daerah mana, pimpinannya siapa. Tidak. Sebenarnya saya hanya akan mengeluarkan apa yang menjadi keresahan saya selama ini. Terlebih lagi hati saya terenyuh melihat membludaknya Job Fair, masih banyak para sarjana yang melamar pekerjaan di sana dan di sini. Ribuan sarjana rela berdesak-desakan mendatangi pameran tenaga kerja (Job Fair) tersebut. Seakan title sarjana yang mereka kantongi, tidak cukup membuat mereka aman dari kata “pengangguran”

Dan ketika si Sarjana tersebut telah mendapat pekerjaan, gaji yang mereka peroleh jauh dari ekspektasi yang Si Sarjana itu harapkan. Mereka hanya dapat gaji saja, asuransi, BPJS, uang makan, mereka tidak dapatkan. Mungkin 3 bulan 6 bulan, mereka masih bisa bertahan dengan kondisi itu, tapi jika sudah lebih dari setahun, apakah ini masih dalam batas wajar?

Saya punya pengalaman yang diceritakan langsung dari salah seorang teman saya. Dia sudah bekerja lebih dari satu tahun di sebuah perusahaan. Namun status dia masih belum jelas, apakah mau diangkat menjadi pegawai kontrak atau tidak. Padahal sewaktu wawancara dengan staf HRD-nya, teman saya itu dijanjikan bahwa dia akan dikontrak setelah 3 bulan masa percobaan. Dan jika dia sudah lulus masa percobaan, maka status karyawannya langsung diangkat menjadi kontrak, sama seperti staff yang lain.

Kemudian 3 bulan berlalu, 9 bulan berlalu, sampai satu tahun berlalu, nasib teman saya tersebut tidak jelas apakah ia akan diangkat menjadi karyawan kontrak atau tidak. Saya turut sedih mendengar cerita teman saya tersebut yang dia bilang “aku gimana ya di kantor ini? Jujur, aku gak bisa nabung dari hasil gaji aku. Padahal aku mau nabung buat nikah. Gaji aku habis buat ongkos doang. Karena kan aku hanya dapat gaji saja, tanpa ada uang tunjangan lain. Pada waktu lebaran tiba juga, aku tidak dapat Tunjangan Hari Raya (THR) sama sekali. Sedih sih, tapi mau resign juga masih bingung  mau ke kerja di mana.” Begitu teman saya bercerita pada saya. Respon saya saat itu “ya udah, kamu sabar aja dulu. Jangan resign dulu, sebelum dapat kerjaan pengganti.” Dan Si Teman saya menjawab “Iya, sih gapapa deh gajinya minim daripada enggak kerja. Daripada jadi pengangguran.”

Nah kalau udah sampai dikata-kata ini: “Gak apa-apa deh gajinya minim, statusnya belum jelas, daripada jadi pengangguran.” Inilah yang jadi permasalahan.

Sebenarnya, menanyakan hak status kekaryawanan kita di suatu perusahaan boleh-boleh saja, karena itu hak kita sebagai pekerja. Tentu, bertanyalah kepada Staff HRD (Human Resource Development) dengan gaya bahasa dan tutur kata yang sopan santun. apalagi jika status pendidikan kita sudah sarjana, sudah sewajarnya kita mendapat penghasilan setara dengan penghasilan sarjana yang lain, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun