Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Partai Islam dan Suara Islam

30 November 2020   14:30 Diperbarui: 30 November 2020   16:41 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)

Terwujudnya wadah aspirasi umat islam melalui partai bukan berarti suara islam melebur menjadi satu kesatuan, rupanya kultur demokrasi yang membuka lebar “dialektika” dapat meruntuhkan kebulatan suara islam diruang publik. Belum lagi kanalisasi kelompok islam terpelihara dengan rapi sebagai kekuatan sosial yang bisa saja dimanfaatkan untuk memperjelas kerenggangan islam itu sendiri.

Lahirnya partai Ummat yang dinahkodai Amin Rais hingga deklarasi Partai Masyumi Reborn diGedung Dewan Dakwah Jakarta belakangan ini mempertontonkan tawaran baru bagi masyarakat islam, tawaran yang didatangkan tidak begitu jelas muaranya dan justru berpotensi membuka ruang kerenggangan baru. 

Kita sadar penopang terbesar partai islam adalah massa islam itu sendiri,  namun jika partai islam mempunyai jalan dan konsep keislaman masing-masing maka yang akan terdampak adalah perenggangan masa islam karena akan terafiliasi kesalah satu partai islam.

Umat islam kembali ditawari partai yang beraroma islam sementara partai-partai yang ada sebelumnya seperti PKS, PAN, PBB, PPP dan PKB merupakan partai yang dianggap merepresentasikan suara islam ternyata tidak cukup ampuh menyiratkan adanya kesatuan islam yang nyata. Din Syamsuddin pernah berujar bahwa jika memiliki tujuan yang sama yaitu berjuang atas nama agama semestinya parpol-parpol Islam bisa bersatu.

Partai berhaluan islam yang dilahirkan dan terlahir kembali terkesan akan menjadi anti-tesis dari setiap ide yang digagas oleh Partai islam sebelumnya, dengan kata lain sama saja ingin mengatakan partai islam selama ini telah gagal membuktikan adanya masyarakat islam yang terukur. 

Ruang perdebatan semakin intens sesama partai islam karena akan ditopang konsep demokrasi dimana keniscayaan dalam demokrasi adalah mempersilahkan perdebatan sesama suara islam, pengaguman terhadap pemakluman dari setiap perbedaan terus tergambar sesama islam dan didalamnya terdapat kontestasi pemikiran yang saling  menggugat sesama islam.

Lihatlah suara diparlemen dengan partai yang berbasis islam, ditahun 2019-2024 partai islam terkesan kurang dilirik oleh masyarakat islam itu sendiri, jika digabungkan jumlah kursi partai islam di parlemen dengan hitungan PKB (10,09%), PKS (8,70%), PAN (7,65%), PPP (3,30%) maka total suara yang didapati hanya 30,55%, jikapun hitungan itu dalam keadaan setiap partai islam konsisten untuk bersatu maka tidak juga mempunyai daya apa-apa karena pengaruhnya jauh dibawah 50% suara atau hanya memiliki 171 kursi dari 575 kursi, bahkan partai islam seperti PBB  tidak satupun memiliki perwakilan di parlemen.

Pemilu 2019 menempatkan sentimen keislaman menjadi tolak ukur basis perolehan suara namun anehnya tidak diikuti dengan peningkatan keterpilihan partai islam dan sebaliknya partai yang berhaluan nasionalis kebangsaan justru mendapat tempat dihati masyarakat seperti PDI-P, Golkar hingga Gerindra. 

Kita lupa bahwa demokrasi yang sebenarnya adalah eksistensi kuantitas dan kualitas hanyalah ekspresi, perebutan jumlah kursi diparlemen seharusnya lebih diutamakan karena penguasan perlemen sama halnya menguasai suara rakyat, namun perwujudan kuantitas partai islam diparlemen menjadi tidak relevan karena masyarakat islam disajikan dan dibingungkan dengan banyaknya partai yang berhaluan islam.

Perpecahan suara islam semakin menjadi-jadi saat masuk dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu, “degradasi diksi politik” tergambar untuk menyerang lawan politik, misalnya Amin Rais mendikotomikan partai-partai politik menjadi dua kubu yakni partai yang berhaluan “hizbullah” yakni partai yang mengusung Capres Prabowo dan partai yang berhaluan “hizbusy syaithan” yakni partai yang mengusung Capres Jokowi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun