Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada dan Media Massa

12 Agustus 2020   16:42 Diperbarui: 13 Agustus 2020   07:05 1039
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilkada | KOMPAS

Penulis: Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)
Masyarakat demokrasi harus menyadari bahwa media massa merupakan hegemoni baru dalam setiap kegiatan perpolitikan, begitu juga dengan aktivitas Pilkada juga tak terlepas dari peran media massa. Para praktisi politik daerah meyakini bahwa menguasai percaturan politik berbanding lurus dengan menguasai media massa.

Bahkan menurut Profesor Elizabeth Noelle pada salah satu Institut Publisistik di Jerman bahwa kekuatan media sangat bisa mempengaruhi opini publik. Bill Clinton sendiri dalam praktik politik menjadikan media televisi untuk mencari informasi bagaimana cara Kennedy berdebat ketika Clinton ikut kontestasi Pilpres Amerika 1992.

Media masa menjadikan Kennedy tampak lebih mewah ketika tampil memukau dalam layar televisi saat berdebat dengan Richard Nixon di Pilpres Amerika tahun 1960, Nixon yang digadang-gadangkan menjadi pemenang Pilpres ternyata tak mampu melawan pesona debat Kennedy di televisi yang akhirnya keluar sebagai pemenang Pilpres. Tak banyak yang menyangkal salah satu faktor kemenangan Kennedy adalah kualitas debat yang difasilitasi media televisi.

Tak jauh berbeda tampaknya dengan Pilkada, dimana Calon Kepala Daerah menyadari kekuatan media massa sebagai instrument keterkenalan personal. Walaupun Pilkada merupakan akivitas politik lokal namun mereka yang ikut berkontestasi sejatinya akan membangun basis suara dalam pondasi popularitas, akseptabilitas hingga akan berujung ke elektabilitas.

Tak mungkin pula masyarakat daerah memilih tanpa melihat sosok yang tidak dikenalnya, untuk itu hal yang paling awal agar dibentuk adalah bagaimana seseorang itu populer melalui media massa, pelembagaan citra positif bagi pelaku politik sudah menjadi kebutuhan, dimana calon Kepala Daerah harus membangun jaringan dengan media massa agar setidaknya kandidat tersebut hadir dalam pikiran banyak orang yang sejatinya akan dijadikan bahan diskusi masyarakat.

Namun dalam pertarungan pilkada, memiliki popularitas saja tidak cukup, belajar dari "orang terkenal" yang memiliki modal keakraban dengan media massa tidak cukup untuk mengantarkannya sebagai orang nomor satu didaerah. Helmy Yahya adalah sebuah contoh nyata dimana kepopuleran yang ada digenggaman belum tentu berbuah hasil dalam aktivitas politik.

Helmy Yahya yang ikut dalam kontestai pemilihan Gubernur Sumatera Selatan tahun 2008 tak mampu menyingkirkan pesaingnya Alex Noerdin, tidak cukup sampai disana Hemly pun kembali merasa kepahitan yang sama dengan kembali gagal dalam Pilkada Bupati 2010 dikampung halamannya sendiri Ogan Ilir Sumater Selatan, beliau dikalahkan oleh pesaingnya Mawardi Yahya yang tidak popular sama sekali.

Dari itu kita dapat belajar bahwa yang harus ditempuh setelah popular adalah akseptabilitas, karena bisa saja calon kepala daerah itu popular namun tingkat keberterimaan di masyarakat masih rendah. Untuk meningkatkan akseptabilitas maka peran media massa sangat menentukan untuk membangun citra calon kepala daerah, citra itu bisa saja dibangun secara natural dan bisa juga dibangun dengan konsep yang matang melalui konsultan politik.

Sebelum Joko Widodo mengikuti kontestasi Pilpres 2014, beliau termasuk orang yang setiap tindakan dan prilakunya mewakili sentiment masyarakat luas dan itu diangkat oleh media massa pada level nasional. Media massa selalu mengangkat berita blusukan, karakter "ndeso", bahkan cara dia berpakaian menjadi topik yang membuat nilai akseptabilitasnya meningkat.

Saat itu Jokowi berhasil sebagai pembeda yang membuat dirinya menjadi "iconic" baru dalam percaturan politik nasional, karakter "iconic" itulah yang justru dilambungkan oleh media massa sehingga membuat nilai akseptabilitas seorang Jokowi ditengah-tengah masyarakat "meroket".

Kita juga masih ingat pada Pemilihan Gubernur Riau tahun 2013 yang lalu dimana salah satu kendidatnya adalah Anas Maamun, ada hal yang menarik dari itu, dalam ajang debat yang disiarkan langsung oleh media televisi nasional justru membuat Anas Maamun menjadi personal yang "iconic".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun