Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pemakzulan Bupati Jember, Mahkamah Agung Diantara Irisan Politik dan Hukum

7 Agustus 2020   18:18 Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:49 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis : Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)

Arus pemakzulan Bupati Jember (Faida) tampak begitu kencang, itu dapat dilihat dari mekanisme pemakzulan yang direstui oleh 45 anggota DPRD Jember, namun besarnya arus politik tersebut tidak serta merta diamini oleh Mahkamah Agung (MA) yang mempunyai "standar ukur" hukum yang rigid. 30 hari adalah batas waktu yang dapat dipergunakan MA untuk menentukan apakah Bupati Jember layak untuk dimakzulkan atau tidak. Tentu proses politik yang dilakukan oleh DPRD Jember tidak boleh hanya bersandar pada kepentingan politik yang abstrak namun harus didukung oleh dalil-dalil hukum yang terukur sehingga dapat meyakinkan MA untuk menerima argumentasi Pemakzulan tersebut.

Pemakzulan Kepala Daerah pada dasarnya proses pemberhentian seseorang dalam masa jabatannya sebagai Kepala Daerah yang diduga telah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka tata cara pemberhentian kepala daerah harus jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan. Terkait pemakzulan yang dialami oleh Bupati Jember maka mekanisme itu harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.23/2014).  Bukti-bukti yang disimpulkan DPRD Jember harus dapat disandarkan didalam pasal-pasal UU No. 23/2014 yang berkaitan tentang pemberhentian kepala daerah.

DPRD Jember telah menggunakan hak kelembagaan mulai dari interpelasi, angket hingga menyatakan pendapat, dari pelaksanaan hak itu didapati beberapa kebijakan Bupati yang dianggap menyimpang dan melanggar ketentuan perundang-undangan seperti diantaranya kebijakan mutasi pegawai, kebutuhan Aparatur Sipil Negara, rekomendasi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), penyelenggaraan APBN yang bermasalah, pengundangan Peraturan Bupati Jember tentang Kedudukan, Susunan, Organisasi serta Tata Kerja (KSOTK) yang bermasalah hingga pada persoalan ketidaktaatan Bupati Jember terhadap kebijakan Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Semua tindakan Bupati itu dianggap bermasalah bagi DPRD Jember hingga layak dilengserkan dengan mekanisme konstitusional yang tersedia.

Dari beberapa alasan diatas maka selayaknyalah DPRD harus mampu menyandarkan temuan pelanggaran itu kedalam proses yang sudah digariskan dari UU No.23/2014, namun proses yang ditempuh itu wajib pula melalui MA untuk diperiksa dan diputus atas usulan dan pendapat DPRD Jember tersebut. Bukan pula tanpa rintangan, pastinya MA akan memverifikasi pendapat DPRD tersebut dengan standar perhitungan hukum yang terukur dan bukanlah perhitungan pada penilaian politik yang abstrak.

 Jika kita kaitkan proses pemakzulan itu bersandar pada pasal 78 ayat (2) UU No.23/2014 maka akan ditemukan bunyi pasal yang sifatnya masih umum, sehingga ada ruang politik yang cukup besar dan dapat ditafsirkan sesuai keinginan anggota DPRD Jember namun sebaliknya  ketika pasal yang bersifat umum  harus disandingkan dengan peristiwa-peristiwa konkrit maka berpotensi pula MA tidak mau ikut campur karena alasan batasan kewenangan sehingga pendapat DPRD sangat mudah ditolak oleh MA.

Bisa kita lihat ketersediaan syarat pemberhentian Bupati Jember harus memenuhi pasal 78 ayat (2) UU No.23/2014 bahwa Bupati dapat diberhentikan apabila: dinyatakan melanggar sumpah/janji Kepala Daerah, tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan, membuat keputusan yang menguntungkan pribadi/kelompoknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum/daerah dan meresahkan masyarakat, hingga melakukan perbuatan tercela.

Taruh saja DPRD Jember berpendapat bahwa Bupati melakukan mutasi di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara artinya Bupati telah memenuhi syarat untuk diberhentikan sesuai pasal 78 ayat (2) UU No.23/2014 dimana Bupati Jember "tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan", maka harus jelas norma yang umum semestinya disandarkan dengan peristiwa  konkrit yang dihadapi.

Atau yang kedua DPRD Jember menganggap Bupati tidak merespon Keputusan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Kebutuhan Pegawai Aparatur Sipil Negara Tahun Anggaran 2019 jo. Pengumuman dari MenPAN-RB Republik Indonesia Nomor: B/1069/M.SM.01.00/2019 tentang Informasi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun Anggaran 2019 jo. Pengumuman dari MenPAN-RB Republik Indonesia Nomor: B/1069/M.SM.01.00/2019 tentang Informasi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun Anggaran 2019. Akibatnya, Kabupaten Jember tidak memperoleh kuota CPNS. Artinya disini Bupati telah dianggap memenuhi syarat untuk diberhentikan berdasarkan pasal 78 ayat (2) huruf "e" karena merugikan daerah yang dipimpinnya.

Memang dalam aspek politis, jika itu dapat dibuktikan kerugiannya maka sah-sah saja Bupati memenuhi syarat untuk dimakzulkan namun DPRD tidaklah bekerja sendiri karena pendapat DPRD Jember itu harus dapat diuji secara hukum yang dinilai oleh MA. Namun bukan juga tanpa persoalan jika dinilai oleh MA, karena MA akan menilai peristiwa konkrit atas persolan hukum yang terjadi maka MA juga terbebani dengan batasan kewenangan yang melekat padanya. misalnya terkait mutasi pegawai yang tidak sesuai dengan Merit Sistem maka sangat mungkin MA menolak pendapat DPRD tersebut karena MA menyadari persengketaan mutasi pegawai tidak harus bermuara ke pemakzulan namun bisa ditempuh di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pendapat MA tersebut bukanlah tanpa dasar karena ini pernah terjadi ketika MA memutus pendapat DPRD Kota Pematang Siantar terkait pemakzulan Walikota Pematang Siantar dimana Putusan MA Nomor 1 P.KHS/2020 menyatakan tidak menyetujui pemakzulan terhadap Walikota Pematang Siantar, terkait persoalan mutasi ASN yang menjadi dalil DPRD Pematang Siantar maka MA menyatakan "jika masih terdapat pelanggaran administrasi dalam pengangkatan dan mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat digugat di PTUN"

Dengan kejadian diatas tampaknya bisa saja pendapat DPRD Jember semakin suram karena MA akan menolak dengan mengarahkan bahwa setiap persoalan tidak mesti sampai pada titik pemakzulan namun masih banyak upaya hukum yang lebih bisa didahulukan. Misalnya penda[at DPRD Jember yang menyatakan Peraturan Bupati terkait KSOTK itu bermasalah, maka bisa saja MA berpendapat persolan PerBup yang bermasalah dapat diajukan dalam kontek "Judicial Review" di MA bukan pada mekanisme pemakzulan atau Bupati tidak menaati amanat atasannya seperti Gubernur dan Mendagri lagi-lagi bisa saja MA menolak dengan pertimbangan pemerintah dapat menyelesaikan secara internal berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2018 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Lalu bagaimana seandainya Kepala Daerah diduga melakukan pelecehan seksual yang mana perbuatan personal itu menjadi kategori memenuhi syarat sebagai perbuatan tercela yang diatur dalam pasal 78 ayat (2) huruf "f"? Lalu bagaimana "respon" MA apabila DPRD mengajukan pendapat terkait prilaku personal kepala daerah tersebut? apakah MA berpotensi tetap menolak pendapat DPRD? dengan alasan harus lebih mendahului proses pidana dari pada proses ketatanegaraannya.

Menurut penulis bahwa tidak semestinya juga MA harus menolak pemakzulan tersebut, karena sebaiknya proses pemakzulan yang sifatnya ketatanegaraan haruslah dipisahkan dari aspek pidana, MA wajib mendahului desain ketatanegaraan yang bermuara apakah kepala daerah layak dimakzaulkan atau tidak. Lalu apakah nantinya dalam proses pidana kepala daerah tersebut tidak terbukti melakukan perbuatan tercela maka peristiwa tersebut tidak bisa dikaitkan dan disatukan, karena proses ketatanegaraan yang diuji itu adalah kedudukan jabatan kepala daerah  dalam prespektif krisis kepercayaan publik, kestabilan politik/pemerintahan didaerah dan keadilan yang hidup ditengah-tengah masyrakat daerah maka MA harus dapat merasakan ketiga peristiwa tersebut dengan penuh keyakinan namun proses pidana adalah proses mencari kebenaran materil terkait dengan personal pribadi yang tidak bisa dikaitkan dengan jabatan Kepala Daerah. jadi proses ketatanegaraan bermuara pada pemakzulan sedangkan proses pidana bermuara pada sanksi pidana.

Tidak dapat dipungkiri konsekuensi Putusan MA terkait pemakzulan kepala daerah bisa menguji peristiwa hukum namun sisi lainnya bisa juga menguji peristiwa politik ketatanegaraan. Dengan demikian apabila kiranya proses pemakzulan Bupati Jember bersandar pada dalil-dalil hukum yang harus membuktikan peristiwa konkrit maka potensi MA menolak pemakzulan semakin besar namun apabila MA bersandar pada proses politik ketatanegaraan maka MA harus dapat merasakan suasana kebatinan krisis kepercayaan publik terhadap kepala daerah, stabilitas politik/pemerintahan daerah dan rasa keadilan yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun