Mohon tunggu...
Rachmad Oky
Rachmad Oky Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara)

Penulis merupakan Direktur sekaligus Peneliti pada Lembaga Peneliti Hukum Tata Negara (Lapi Huttara) HP : 085271202050, Email : rachmadoky02@gmail.com IG : rachmad_oky

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Posisi Pemerintah dalam Masa Kedaruratan Covid-19

2 April 2020   21:50 Diperbarui: 2 April 2020   22:19 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rachmad Oky (Peneliti Lapi Huttara)--dokpri

Setelah Presiden menyatakan kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyatakat Covid-19 maka  haluan kebijakan penanganan Covid-19 setidaknya sudah memiliki arah,  karena perlakuan dan pelaksanaan UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak cukup hanya menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) namun haruslah berawal dari penetapan keadaan darurat yang didekralasikan oleh pemerintah.

Pasal 10 ayat (1) UU No.6/2018 memberi amanat bahwa Pemerintah Pusat yang memiliki kewenangan absolut untuk menetapkan dan mencabut  "status" kedaruratan kesehatan masyarakat, namun pertanyaanya apakah "status kedaruratan" yang bersumber dari UU No.6/2018 dan Keppres No.11/2020 merupakan aktualisasi Pasal 12 UUD NRI 1945 yang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? 

Sehingga pemerintah sangat mungkin menerapkan penyimpangan tindakan dalam negara darurat dengan harapan dapat mengatasi wabah Covid-19, artinya penyimpangan terhadap norma hukum yang normal dapat ditoleransi asalkan dengan maksud mulia untuk keselamatan dan kemaslahatan rakyat.

Setidaknya kita dapat saja mengetahui apakah pertimbangan yusridis dalam konsideran UU No.6/2018 bersumber dari Pasal 12 UUD NRI 1945 yang menyatakan negara dalam keadaan bahaya, jika kita telisik UU tersebut maka tidak kita temui basis konsideran yang bersumber dari pasal 12 UUD NRI 1945 namun yang dipakai pijak konstitusionalnya adalah pasal 5 (1), pasal 28 H (1),  pasal 34 (3) UUD NRI 1945.

Walaupun  UU No.6/2018 tidak mencantumkan pasal 12 UUD NRI 1945 sebagai pertimbangan yuridis bukan berarti menghilangkan sifat bahaya dan sifat darurat dalam penanganan Covid-19, dalam tatanan isi dan praiktik UU tersebut justru menggambarkan negara dalam keadaan bahaya.

Misalnya pertama, Presiden memproklamasikan atau mendeklarasikan adanya kedaruratan, kedua, materi UU tersebut pada pasal 10 (1) memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan "status darurat", ketiga, Presiden menetapkan pernyataan darurat berdasarkan Keppres No.11/2020, keempat, dalam peristilahan UU tersebut mengenal terminologi "darurat" yang menggambarkan suatu keadaan yang tidak normal dalam sebuah negara.

Keempat pola diatas merupakan respon dari Covid-19 yang merupakan ancaman nyata  hingga berdampak luas bagi masyarakat, dengan ancaman nyata itu timbullah kebutuhan yang mengharuskan pemerintah menerapkan hukum-hukum yang bersifat khusus dan darurat sehingga bisa saja tindakan pemerintah terkesan menyimpang namun untuk maksud yang mulia.

Ini juga didorong atas keterbatasan waktu yang tersedia bagi pemerintah karena Presiden tidak memiliki waktu yang cukup sebagaimana dalam keadaan normal semisal Presiden tidak bisa melakukan konsultasi secara rutin dengan DPR serta lambaga lainnya untuk mengatasi suatu persoalan Covid-19. Untuk itu dalam sistem Presidensil, Presiden sebagai Kepala Negara mempunyai kekuasaan tunggal untuk mengatasi persoalan kedaruratan atau keadaan bahaya negara.

Jika kita bandingkan dalam konsideran UU Prp No.23/1959 tentang Menetapkan Keadaan Bahaya, sangat tegas bahwa dasar konstitusional Perppu tersebut bersumber dari Pasal 12 UUD NRI 1945 yang mana keberlakuannya disaat negara sudah dalam keadaan bahaya, UU Prp tersebut juga  memiliki pola yang sama dengan UU No.6/2018.

Misalnya dalam UU Prp itu adanya bentuk Deklarasi sebuah keadaan bahaya atau Darurat yang diproklamirkan oleh Presiden yang diatur pada pasal 1 ayat (1) yang berbunyi "Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer...", misalnya lagi didapati bahwa instrumen Keppres digunakan untuk pernyataan sebuah keadaan bahaya dimana Presiden Megawati pernah menyatakan keadaan bahaya melalui Keppres No.28/2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan tingkatan darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Namun tidak semua Keppres tentang keadaan bahaya didahului dengan Deklarasi oleh seorang Presiden, misalnya Keppres No.21/2005 atas keadaan darurat sipil di Aceh dan Nias yang isinya memberikan remisi kepada narapidana, penerbitan Keppres tersebut tidak didahului adanya deklarasi Presiden sehingga keberlakuannya menjadi darurat "de facto". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun