Aku dengar dari seorang kawan tentang keberadaan hantu perempuan mengenakan selendang putih yang sejak lama bergentayangan di Kampung Swakarya. Dia bercerita dengan gamblang mengenai penampilan dan asal-usul sosok yang selalu menampakkan diri tanpa ekspresi itu.
Apa peduliku yang hanya seorang kurir mobil berpendapatan di bawah UMR?
Seperti biasa di warung kopi Mekarsari pukul 21.00 WIB aku seorang diri membuang penat dengan secangkir kopi dan beberapa batang rokok kretek sebelum disuruh mengantarkan pesanan berikutnya melalui aplikasi. Kira-kira tiga puluh menit kemudian ponselku berbunyi menandakan adanya instruksi baru pengiriman barang ke sebuah tempat yang tidak asing dalam ingatan.
Aku tiba di gapura timur Kampung Swakarya setelah menghabiskan waktu selama lima menit mengambil barang yang dipesan di gudang. Bobotnya tidak berat hampir-hampir seperti tidak ada isinya. Tidak ada kecurigaan yang hadir dalam hati. Aku menyetir mobil putih ini dengan suasana pikiran netral. Keadaannya tidak begitu gelap walaupun disebut "kampung" karena lampu-lampu jalan telah dipasang dengan tertata. Kemudian, peta digital mengarahkanku ke sebuah jembatan yang terlihat uzur. Air deras mengalir membawa sampah plastik dan dedaunan kering.
"Lelucon macam apa ini?" pikirku, "Seharusnya aku pulang lebih awal karena order hari ini terbilang sedikit."
"Siapa saja yang melakukan ini pasti kekurangan kasih sayang sejak kecil!" rutukku sambil memandangi pesanan menyebalkan ini. Pertama-tama aku akan mengonfirmasi ke ketua RT setempat atau warga yang masih di luar rumah apabila mungkin mereka mengenal seseorang bernama "Amira".
Dialah yang memesan barang ini sesuai alamat terlampir. Hanya saja, janggalnya, kontak yang tertera tidak dapat dihubungi melalui ponsel. Apakah ini adalah kesalahan Google Map atau memang benar ada seseorang yang mengerjai aku? Tapi sebelum aku pergi menjauhi jembatan besi yang berlumuran karat itu, terdengar seseorang menyapa dari belakangku.
"Aku orang yang memesan barang itu. Berapa yang kau minta sebagai imbalan tambahan?"
Sekonyong-konyong aku terlonjak dan terduduk sambil gemetaran. Rupa menyeramkan sosok yang mengaku sebagai "Amira" tersebut adalah pertama kalinya hadir dalam kenyataan hidupku. Bola mata kirinya tergantung, beberapa area di wajahnya memperlihatkan tulang-tulang diserbu belatung, dan bau busuk menguar ke mana-mana. Lidahku kelu, sekujur tubuh membeku, dan hanya suara hati yang mampu menyebut nama Tuhan berkali-kali. Sosok itu melangkah lebih dekat sebelum berjongkok di hadapanku.
"Tidak perlu bertingkah seperti itu. Memangnya kenapa kalau yang menggunakan jasamu kali ini bukan manusia?" kata sosok yang menyeringai lebar menampilkan deretan gigi kuning bercampur merah warnanya.
Tapi keberanianku sedikit bangkit. Kutanya balik "Amira" yang sedang tertawa kecil itu, "Jangan main-main! Siapa kau sebenarnya?! Kalau ini sekedar prank untuk mendulang uang, srharusnya kau ada omongan dulu denganku!"