Mohon tunggu...
Rachena Febriery
Rachena Febriery Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam "45" Bekasi

"God exalts the man who humbles himself," said Miguel de Cervantes (1547-1616).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ekoloyo dan Anggraini: Bercinta di Era Krisis Iklim

27 Agustus 2022   12:44 Diperbarui: 27 Agustus 2022   12:49 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Eko memarkirkan motor bebeknya di depan warung kopi kepunyaan pacarnya yang sehari-hari tampil dalam balutan kerudung hijau gelap. Gadis yang kerap disapa Anggi menyambutnya dengan sepiring singkong goreng dan kopi susu. Hari Minggu yang mendung tidak menghalangi keduanya saling bertemu, meskipun Eko sangat lelah setelah mengikuti kegiatan ronda dengan puluhan warga Kampung Nawa Kartika bergiliran setiap Sabtu malam. Pemuda lulusan SMA yang kerap menghabiskan 2-3 jam di rental PlayStation 3 setiap Kamis dan Jumat itu belum lama ini berhasil menerbitkan buku kumpulan puisi cinta berjudul Kembang Kopi. Didedikasikan untuk Anggi yang melamar Eko menjadi pacarnya dengan mahar kopi bubuk dari Lampung seberat 250 gram setahun silam.

"Selamat pagi, sayangku, yang kedua bola matanya selalu mengilap seperti habis dipoles dengan minyak sayur," kata Eko dengan seringai khasnya yang tidak pernah kecuali menggoda Anggi saat mereka bersama.

"Kalau sudah habis singkong dan kopinya, tolong dibayar dengan tunai, Mas!" balas Anggi yang seperti biasa sangat ketus, dingin, pelit ekspresi, dan tidak suka bertele-tele dalam menanggapi apa saja.

"Rindu semalam langsung terobati begitu kamu bersikap dingin padaku. Sepertinya hari ini aku akan pulang lebih lama untuk mengganggu kamu, sayang," ujar Eko yang malah semakin tertantang untuk membikin Anggi jengkel.

Lap meja bermotif kotak-kotak merah seketika melayang di udara, namun gagal mengenai wajah berminyak Eko yang cekikikan membanggakan kecekatannya menghindari serangan Anggi. Wajah primadona kampung itu agak merona entah karena marah atau diam-diam tersipu atas kesediaan Eko menemaninya di warung kopi lebih lama lagi. Lagipula, Eko pernah diam-diam membaca catatan harian Anggi yang mengungkapkan betapa dia lumayan sedih jika Eko main-main di warungnya tidak sampai hanya dari pukul 09.00-12.00, meskipun di hari-hari libur. Jadi, sedikit banyak dia paham betapa gadisnya itu tipe yang tidak sudi menghadapi situasi apapun dengan frontal, terbuka, atau blak-blakan.

"Kemarin, aku sempat berbincang-bincang empat mata dengan Prof. Sunaryo Dewaruci sebagai sesama pengisi seminar sastra di Akademi Sastra Palgunadi di seberang toko buku Dewa Kata yang tempo hari kita berdua ke sana beli buku-buku cerita bergambar untuk anak-anak di Kelas A TPQ Ibnu Rusyd. Ada sebuah salinan jurnal ilmiah bertaraf internasional yang dia berikan padaku sebagai pengantar untuk membaca perkembangan perubahan iklim di seluruh dunia terutama sesudah Rusia menyerbu Ukraina. Ke depan, dalam jurnal berjudul Urgensi Diversifikasi Pangan di Era Krisis Iklim, aku mencermati temuan-temuan yang mengamini besarnya potensi bahan-bahan makanan pokok seperti beras, jagung, dan gandum menghilang karena perubahan iklim," ucap Eko memulai obrolan di kala angin pagi masih sejuk terasa di kulit cokelat terangnya.

Anggi menyandarkan kepalanya yang berbau mawar di pundak kanan Eko sambil sesekali memainkan jakun pemuda pecandu Gudang Garam Internasional sejak SMP itu. Kemudian, dia bertanya dengan lembut tanpa mengalihkan pandangannya dari pot tanah liat kaktus kecil di rumah tipe 21 yang berhadapan dengan warungnya dibelah Jalan B.M. Diah No. 10, "Apakah perubahan iklim juga akan merenggut kamu dari aku?"

Eko seketika mencubit pipi kanan Anggi yang sedikit ditumbuhi jerawat. Putri semata wayang Bapak Salman Rusydi dan Ibu Nurul Usmar Hamidah itu mengeluh manja, namun tidak membalasnya. Dibelainya kedua pelupuk mata perempuan kelahiran 1 Agustus 1995 itu bersamaan dengan kedua jempol. Jawab Eko, "Bukankah kita memang diciptakan sebagai makhluk yang hidup dalam ketidakpastian, ketidaktahuan, dan ketidakberdayaan? Bukan hanya perubahan iklim yang layak disematkan sebagai hipotesis untuk memisahkan sepasang kekasih secara jasmani. Lagipula, tidak ada kreasi Tuhan yang pernah selamat dari kematian sejak pertama kali nenek moyang kita menapaki kehidupan di Bumi jutaan tahun lalu. Nah, pertanyaan yang tepat seharusnya bukan seperti itu, tetapi apakah janda muda yang baru-baru ini jadi orang kaya baru karena konten-konten vulgarnya telah ditonton puluhan juta kali di TikTok di sebelah rumah Kyai Ghazali Sampang akan merenggut tatapan penuh cinta dariku ke kamu atau tidak."

Dengan santai, namun disertai cubitan yang kelewat keras di pinggang kanan Ekoloyo Pringgodigdo, Anggraini Muthahhari Rusydi Hamidah itu berkata, "Paling-paling sepasang ginjalmu aku iklankan di Tokopedia. Hitung-hitung buat merenovasi warung, berternak ayam, dan sisanya bisa disedekahkan ke anak-anak yatim, sayang."

Tawa renyah Eko bersambung ke pertanyaan-pertanyaan selanjutnya, "Bagaimana kalau tanah 10 hektare bapakmu yang di desa sebelah itu ditanami singkong sebanyak-banyaknya? Supaya ketika negeri ini sudah kehabisan akal untuk memperpanjang umur padi, kita masih bisa menggoreng keripik untuk kebutuhan sehari-hari dan dijual ke kantin-kantin sekolah atau diolah menjadi tepung? Singkong tersebar di 100-an negara, mampu tahan lama di bawah tekanan suhu ekstrem hingga 40° celsius, dan kandungan karbohidratnya lebih tinggi daripada beras. Kebetulan teman-temanku dari fakultas pertanian  di salah satu kampus publik paling bergengsi di pulau seberang sedang mengembangkan penelitian tentang kosmetik ramah lingkungan berbahan dasar singkong bersama segelintir ilmuwan pangan dari Nigeria, Thailand, dan Republik Demokratik Kongo, negara-negara raksasa singkong. Mungkin saja singkong-singkong kita kelak bisa diusahakan untuk bisnis berkelanjutan seperti itu, 'kan?"

Anggi yang kini mengusap ubun-ubun Eko menanggapinya dengan enteng, "Selama kita berdua selalu bersama, ide-ide hebatmu akan aku dukung semampunya. Aku tidak terlalu memahami semua yang kamu pahami mengenai iklim, pangan, dan penelitian-penelitian itu karena semasa sekolah tidak serius mempelajari ilmu pengetahuan sepertimu. Namun, bukan berarti aku menganggap kamu membosankan sebagai lelaki berakal besar, hanya saja daya tangkapku pada hal-hal setinggi itu terbilang rendah. Jadi, maafkan aku kalau terlalu gugup, lugu, dan bingung untuk melayani kecintaanmu pada dunia orang-orang terdidik, terpelajar, dan terpelihara dala khazanah akademik. Aku selalu memandang kamu sebagai sosok pemimpin masa depan yang lebih dari mampu untuk mengayomi kekuranganku, kualitasmu yang melampauiku dalam ranah-ranah tertentu sungguh membuat aku semakin terikat padamu, dan meskipun tuduhan dari beberapa orang bahwa alasanku menaruh rasa padamu karena mengharapkan hidup sejahtera, tetapi percayalah bahwa suka duka tidak pernah kamu lewati tanpa aku, sayang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun