Mohon tunggu...
Hedi Rachdiana
Hedi Rachdiana Mohon Tunggu... Konsultan - www.facebook.com/hedi.rachdiana

www.facebook.com/hedi.rachdiana http://hedirachdiana.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Makna Shalat

7 Mei 2015   10:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:17 2515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sumber: Milis

Masalah Utama

Seringkali istilah "shalat" diartikan secara sederhana sebagai "sembahyang" atau "ritual yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam." Dan ada juga yang mengatakan bahwa shalat itu sama dengan "do'a." Meskipun definisi tersebut sangat populer, namun pada kenyataannya tidaklah mempunyai nilai kebenaran yang mutlak bila disaring oleh al-Qur’an. Dalam artikel ini, akan ditunjukkan bagaimana konsep "shalat" digunakan dalam al-Qur’an; dan karena ini terminologi qur'ani, maka untuk menentukan maknanya pun harus sesuai dengan penggunaannya di dalam al-Qur’an.

Shalat Bukan Do'a

Konsep "shalat" sudah jelas tidak sama dengan konsep "do'a." Ini bisa kita lihat dari ayat berikut.

Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku (du'aa). (14:40)

Maka janganlah kamu menyeru (tad'u) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab. (26:213)

Mereka menjawab: "Mohonkanlah (ud'u) kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (2:68)

Dalam bahasa al-Qur’an, "do'a" itu memiliki bentuk dasar "du'aa" yang memiliki akar kata Dal-'Ayn-Waw menurut Lane's Lexicon. Beberapa makna yang bisa ditemui untuk kata ini antara lain: call upon (memanggil kepada yang lebih tinggi), cry out (memanggil dengan suara keras atau lantang), call out (memanggil sesuatu yang jauh), dan petition (petisi).

Sehingga dari sini bisa disimpulkan bahwa pada intinya, konsep "do'a" adalah "memanggil, menyeru, atau memohon" dan dalam konteks ayat-ayat di atas, panggilan, seruan, atau permohonan tersebut ditujukan kepada Allah. Selain itu, jelas sekali bahwa berdo'a itu lain dari shalat dari ayat-ayat berikut.

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menaungi lagi Maha Mengetahui. (2:115)

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (50:16)

Perlukah kita melakukan ritual untuk berdo'a kepada Yang Satu yang begitu dekat dengan keberadaan kita sekaligus berada di segala penjuru? Oleh karena itu logislah mengapa Allah menyatakan hal berikut:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu mendengarkan-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (2:186)

Apakah Shalat Sama Dengan Sembahyang?

Mari kita mulai dengan ayat yang sederhana

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah yang terbesar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (29:45)

Jika shalat adalah sembahyang, mengapa banyak orang bersembahyang tetap saja melakukan perbuatan keji dan mungkar? Biasanya dijawab dengan sembahyangnya yang belum benar. Apa sih susahnya melakukan ritual secara "benar"? Mungkin jawaban yang paling sesuai adalah bahwa mereka yang melakukan hal-hal yang keji dan mungkar tidak tahu apa itu shalat, tapi hanya tahu apa itu sembahyang.

Mari kita tengok kisah Syu'aib untuk memahami shalat

Mereka berkata: "Hai Syuaib, apakah shalatmu (shalaatuka) yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami? Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." (11:87)

Jika shalat adalah ritual bernama "sembahyang" lalu bagaimana caranya rasulullah Syu'aib melaksanakan hal di atas, yaitu menyuruh kaum beliau membelanjakan harta secara benar? Bagaimana mungkin sebuah ritual bisa mencapai hal demikian? Terjemahan resmi dari Departmen Agama (DepAg) dengan leluasa menerjemahkan "shalaatuka" sebagai "agamamu" yang tentu saja selain memberikan arahan yang keliru, juga melupakan bahwa dalam al-Qur’an masih terdapat konsep "diin" yang seringkali mereka terjemahkan juga sebagai "agama." Allah tidak sembarangan memilih kata; "shalat" bukanlah "diin" sehingga sudah pasti berbeda maknanya, tidak bisa dipaksakan untuk sama.

Sekarang mari kita tengok dari sudut pandang lain

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi; dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui shalatnya (shalaatahu) dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (24:41)

Nah, bagaimana cara burung-burung bersembahyang? Apakah mereka melakukan ritual? Bagaimana matahari, bulan, bumi, pohon-pohon, lautan, dan sebagainya melaksanakan ritual sembahyang? Bila dijawab bahwa tiap-tiap dari mereka mempunyai ritual khusus masing-masing, adakah buktinya dari al-Qur’an?

Dari 11:87 dan 24:41 pun sudah jelas bahwa shalat bukanlah sembahyang. Namun bagi yang masih belum yakin, mari kita baca satu ayat lagi.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan shalatlah (shalli) untuk mereka. Sesungguhnya shalat kamu (shalaataka) itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (9:103)

Seperti biasa, DepAg juga dengan santai menerjemahkan kedua kemunculan "shalat" dalam ayat di atas sebagai "do'a." Jelas memahami "shalat" sebagai "sembahyang" menimbulkan situasi yang mengherankan di sini. Apa maksudnya shalat seseorang itu merupakan ketenteraman jiwa bagi orang lain? Mungkin bisa ditambah dengan ayat berikut.

Mereka itulah yang mendapat shalawat (shalawaatun) dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (2:157)

Kata "shalawat" adalah bentuk jamak dari "shalat." Jika shalat adalah sembahyang, maka untuk apa Allah bersembahyang kepada ciptaan-Nya? Anggaplah "shalawat" itu semacam ritual seperti pemahaman tradisional, maka apakah masuk akal Allah melaksanakan suatu ritual yang dipesembahkan kepada ciptaan-Nya? Jawaban "Ya" di sini merupakan jawaban yang harus amat dipaksakan dan menentang segala macam logika, sekaligus sebagai catatan, DepAg menerjemahkan "shalawat" sebagai "keberkatan yang sempurna." Meskipun cukup kreatif, tapi sayang sekali itu hanya menjadikan terjemahan DepAg penuh dengan kontradiksi.

Apakah anda masih yakin bahwa shalat adalah sembahyang? Dengan sedikit membuka al-Qur’an, kita dapat dengan mudah menyatakan bahwa shalat tidak sama dengan ritual yang dikenal dengan sebutan "sembahyang."

Memahami Konsep Shalat

Dengan memperhatikan bagaimana kata "shalat" digunakan di dalam al-Qur’an, kita akan dapat lebih memahami apa yang sebetulnya dimaksud dengan shalat.

Tidak Berpaling

Mari kita mulai dengan 75:31-32

Dan ia tidak mau membenarkan (shaddaqa) dan tidak mau mengerjakan shalat (shallaa). (75:31)

Tetapi ia mendustakan (kadz-dzaba) dan berpaling (tawallaa). (75:32)

Dari dua ayat pendek di atas kita sudah mulai bisa memahami shalat secara jauh lebih baik ketimbang pemahaman tradisional. Dua ayat di atas, seperti yang sering dilakukan oleh al-Qur’an, membuat kontras antara yang positif dan negatif. Kita bisa mempelajari bahwa membenarkan (shaddaqa) lawannya adalah mendustakan (kadz-dzaba). Dan ternyata shalat (shallaa) lawannya adalah berpaling (tawallaa). Dengan kata lain, dua ayat di atas memberikan pemahaman bahwa shalat adalah "tidak berpaling" atau dengan kata lain "berpaling ke suatu arah tertentu."

Ikatan Perjanjian

Sekarang mari kita belajar dari kasus kaum musyrik di dalam al-Qur’an untuk lebih memahami konsep shalat. Simaklah kedua ayat berikut.

Kecuali orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun darinya dan tidak mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (9:4)

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat (ash-shalaata) dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (9:5)

Lalu diteruskan sampai dengan ayat berikut

Mereka tidak menghargai orang-orang mukmin, kekerabatan, maupun perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (9:10)

Jika mereka bertobat, mendirikan shalat (ash-shalaata) dan menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudaramu dalam diin. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (9:11)

Jika mereka merusak sumpahnya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti. (9:12)

Awal dari Surah 9 ini jelas tidak membicarakan suatu ritual dalam bentuk apapun. Kondisi yang digambarkan dalam awal Surah ini adalah kondisi saat terjadi konflik atau peperangan. Dari 9:5 dan 9:11 kita mendapatkan suatu hal yang menarik. Tidak ada gunanya ritual sembahyang bagi mereka yang musyrik karena itu tidak akan membuktikan apa-apa, terutama saat kondisi penuh konflik.

Makna shalat dari awal Surah 9 dapat dipahami sebagai "menaati ikatan perjanjian." Konsepnya pun cukup sederhana: kaum musyrik yang tetap berkomitmen untuk menaati ikatan perjanjian yang telah disepakati, tidak boleh diperangi. Makna serupa dapat juga dilihat dalam ayat berikut.

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu; atau dua orang yang lain jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat (ash-shalaati), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "Kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit, walaupun dia karib kerabat, dan tidak akan kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa". (5:106)

Kedua saksi tersebut sudah sepatutnya menaati ikatan perjanjian yang mereka buat. Dalam hal ini adalah ikatan perjanjian yang didasari oleh sumpah yang diucapkan agar proses penulisan wasiat tersebut bebas dari kecurigaan.

Proses Pembelajaran

Mari kita ulangi pertanyaan di atas: Mengapa ada orang yang mengaku sudah shalat namun masih berbuat keji dan mungkar? Seharusnya shalat mencegah kedua hal tersebut. Namun sudah jelas mustahil sebuah ritual dapat menciptakan manusia yang lebih baik. Untuk mencoba menjawab teka-teki 29:45 kita memerlukan bantuan ayat-ayat lain.

Mereka berkata: "Hai Syu'aib, apakah shalatmu (shalaatuka) yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami? Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal." (11:87)

Nampaknya, shalat yang dilakukan Syu'aib membuat beliau mengerti mana yang keji dan mungkar, dan mana yang bukan. Itulah mengapa beliau bisa memberitahukan kepada kaumnya mengenai kebenaran. Dari sini, nampaknya shalat adalah sesuatu yang dapat menambah pengetahuan seseorang.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan... (4:43)

Mengapa Allah nyatakan bahwa dalam melaksanakan shalat kita harus mengerti apa kita ucapkan? Jujur saja, memahami shalat sebagai ritual yang dilakukan dalam bahasa asing yang banyak sekali tidak dipahami orang bukanlah sesuatu yang sejalan dengan maksud ayat di atas.

Syu'aib adalah orang yang beriman. Beliau mengerti apa yang beliau ucapkan kepada kaumnya. Dan pengertian itu datang akibat shalat yang beliau lakukan. Sehingga sangat logis apa yang dikandung dalam 4:43, bahwa apabila Syu'aib melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk atau tidak mengerti apa yang beliau dapatkan dari kegiatan tersebut, maka mustahil 11:87 menjadi kenyataan.

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-kitab dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari yang keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah yang terbesar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (29:45)

Perhatikan awal dari ayat di atas, yaitu perintah untuk membaca apa yang telah diwahyukan kepada kita. Tampaknya kegiatan membaca ini erat hubungannya dengan shalat. Ini juga bisa dilihat dari ayat berikut.

...dan susunlah (rattil) al-Qur’an itu berdasarkan keserupaan dan susunan yang benar (tartiilaa). (73:4)

Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. (73:5)

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih efektif dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (73:6)

Kata "ratil" memang biasanya diartikan "membaca perlahan-lahan." Namun makna lain kata ini adalah "menyusun hal-hal yang sama atau serupa." Sehingga dalam konteks ayat-ayat di atas, berarti dalam mempelajari al-Qur’an, kita disuruh mengumpulkan ayat-ayat yang membicarakan topik yang sama atau serupa dan menyusunnya untuk dibaca dan dipelajari.

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan begitu pula segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah dari al-Qur’an... (73:20)

Ternyata membaca al-Qur’an itu memang penting menurut Allah, meski bagian yang mudahnya saja. Bila kita menghubungkan dengan 29:45 maka jelaslah bacaan apa yang harus kita baca saat shalat, yaitu al-Qur’an. Dan jelas pulalah mengapa 4:43 berbicara tentang ucapan yang harus bisa dimengerti.

Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Yang Maha Perkasa. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik." Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu. (17:110)

Singkat kata, dalam kegiatan shalat kita sebaiknya mengucapkan apa yang kita baca. Namun tidak terlalu tinggi maupun terlalu rendah volumenya. Dengan menggabungkan semua ayat di atas, maka kita bisa menyimpulkan bahwa shalat adalah "proses pembelajaran" yang dalam melakukannya diperlukan pengertian atas materi yang dipelajari agar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini sekaligus sama dengan menyatakan bahwa membaca al-Qur’an hanya dengan bahasa Arabnya tanpa mengerti maknanya, tidak memiliki kegunaan apapun dan jelas menyalahi 4:43 di atas.

Bila sekarang kita ulangi dari awal, maka jelaslah mengapa shalat yang dilakukan Syu'aib dapat menyebabkan beliau bertindak seperti dalam 11:87. Dan jelaslah mengapa 29:45 menyatakan shalat itu mencegah dari yang keji dan mungkar. Karena setelah membaca dan mempelajari al-Qur’an, seseorang akan memiliki pengetahuan atau pemahaman mana yang benar dan mana yang salah.

Shalat = Komitmen Atas Amanat

Sekarang, setelah kita melihat bagaimana kata "shalat" digunakan di dalam al-Qur’an, kita dapat membuat suatu kesimpulan sederhana mengenai apa shalat itu sebenarnya. Berdasarkan pemaparan sejauh ini, maka shalat mencakup semua makna berikut: tidak berpaling, ikatan perjanjian, dan proses pembelajaran. Ketiga aspek ini dapat kita leburkan menjadi satu. Sebelumnya mari kita baca suatu ayat yang menarik.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh. (33:72)

Lalu bandingkan dengan ayat berikut

Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah; kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi; dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui shalatnya (shalaatahu) dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (24:41)

Semua makhluk yang tersebar antara langit dan bumi mempunyai pemahaman bagaimana melaksanakan shalat. Tampaknya hanya manusia yang kesulitan. Bila dicermati dari 33:72, maka kita dapat mempelajari bahwa hanya manusia yang mengemban amanat dari Allah. Beberapa amanat tersebut adalah seperti yang tertera di bawah ini.

Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami. (6:151)

"Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat, dan penuhilah janji Allah." Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat. (6:152)

Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi," mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (2:11)

Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (2:12)

Dengan kata lain, amanat yang disebutkan dalam 33:72 pada intinya mengharuskan kita untuk tidak menyekutukan Allah dan tidak berbuat kerusakan di dunia.

Berdasarkan pemahaman amanat ini, maka bisa disimpulkan bahwa shalat adalah "komitmen atas amanat" atau bisa dipersingkat sebagai "komitmen" atau "ikatan." Definisi ini mencakup semua aspek shalat yang telah dipaparkan di atas. Kita mengemban amanat agar tidak menyekutukan Allah dan berbuat kerusakan di dunia. Untuk dapat menghindari dari perbuatan yang merusak, maka kita perlu mendapatkan petunjuk.

Al-kitab itu tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (2:2)

Dengan membaca dan mempelajari al-Qur’an, kita akan mempunyai pengetahuan dalam mengemban amanat tersebut. Amanat yang kita emban sangat erat kaitannya dengan diin Allah. Shalat adalah kegiatan atau proses yang harus kita lakukan agar kita sukses mengemban amanat tersebut. Sehingga saat kita diminta pertanggungjawaban atas amanat tersebut, kita dapat termasuk sebagai golongan kanan alias golongan yang berhasil memegang amanat yang dibebankan.

Komitmen inilah yang mendasari tindakan kita untuk tidak berpaling dari ajaran yang dikandung al-Qur’an. Komitmen inilah yang menjadi dasar agar kita menghargai setiap ikatan perjanjian atau sumpah yang pernah kita buat. Dan komitmen inilah yang menjadi motivasi kita untuk terus tidak menyerah dalam mempelajari al-Qur’an demi mendapatkan petunjuk.

Yang Masih Menjadi Pertanyaan

Seperti biasa, setelah mencoba memahami al-Qur’an mengenai suatu topik tertentu, timbul banyak pertanyaan. Artikel ini tidak membahas hal-hal yang berbau teknis seperti tata cara shalat, kapan waktunya, apa saja posisinya, dan sebagainya. Kecuali Allah berkehendak lain, hal-hal tersebut akan dibahas dalam artikel selanjutnya.

Artikel ini memang lebih menekankan kepada pemahaman konsep shalat dan tujuan dari shalat itu sendiri, ketimbang hal-hal lain yang sifatnya teknis. Karena saya berpendapat bahwa jauh lebih utama memahami tujuan suatu aktivitas ketimbang melaksanakannya namun tidak memahami tujuannya dan hanya seperti burung beo yang mengulang-ulang apapun yang ia dengar, entah mengerti atau tidak.



Tanggapan atas artikel di atas:

1.Artikel di atas ingin menyederhanakan arti sebuah kata menjadi satu arti yang diinginkan, padahal arti sebuah kata itu bisa lebih dari satu. Untuk mengetahui arti dari sebuah kata, perlu melihat segala kemungkinan arti dari kata tersebut, yaitu konteks kata pada kalimatnya, konteks sebab-sebab kata digunakan (asbabun nuzul), penggunaan kata-kata pada ayat-ayat yang lain, dan lain-lain. Kata yang terdiri atas huruf shot-lam-wau ini dalam al-quran digunakan dalam banyak ayat, dan untuk mengetahui maksudnya harus melihat juga konteksnya. Jadi tidak bisa menyamakan kata yang sama digunakan pada dua ayat yang berbeda maka artinya harus sama, seperti yang pada kasus ayat Sholawat dan ayat perintah Sholat. Contoh lain dalam artikel di atas, menyinggung kata "diin" yang diartikan sama dengan agama. Benar bahwa salah satu arti dari kata "diin" adalah agama. Tapi bukan hanya itu arti kata diin tersebut.

Kata yang terdiri dari huruf dal-ya-nun ini bisa diartikan banyak, tapi semua makna tersebut memiliki kesamaan yaitu sama-sama menyiratkan hubungan antara dua pihak yang satu di atas (kuat) dan yang satu di bawah (lemah). Agama merupakan hubungan antara Tuhan (kuat) dengan makhluk (lemah). Diin juga dapat diartikan hari pembalasan (juga merupakan hubungan antara Yang Membalas dengan yang dibalas). Diin (yang menggunakan unsur huruf yang sama) juga dapat diartikan sebagai hutang (hubungan antara pemberi hutang dengan penghutang). Dan masih banyak lagi yang harus dikaji ketika ingin mempelajari bahasa. Apalagi bahasa Arab yang sangat kaya maknanya. Sebuah kata yang merupakan sinonim saja belum tentu persis sama artinya antara satu dengan yang lainnya.

Banyak contohnya juga di al-Quran. Seperti penggunaan kata kholaqo-ja'ala-badi'a dan lain-lain yang sebenarnya merupakan sinonim yangg berarti menciptakan, tapi masing-masing penggunaan kata tersebut konteksnya berbeda-beda dalam al-Quran. Dengan demikian, terlalu menyederhanakan permasalahan bahasa. Itu baru dari sisi bahasa, masih ada lagi yang harus dipertimbangkan dalam analisis, seperti konteksnya, sebab-sebab turunnya ayat, bagaimana Rasulullah SAW menjelaskan ayat, dan sebagainya.

2.Artikel di atas juga berulang kali menggunakan premis bahwa bukti sholat itu tidak dapat diartikan sebagai ritual karena orang yang sholat tetap melakukan maksiat. Lalu, menyimpulkan bahwa berarti nggak ada ritual sholat itu. Sebuah logika yang kacau balau menurut saya. Saya akan ambil analogi yang lain lagi. Para pakar mengatakan bahwa untuk sehat anda harus makan yang bergizi. Kemudian anda menemukan ternyata banyak orang yang makan makanan bergizi kok banyak yang sakit. Lalu, bolehkan menyimpulkan bahwa berarti untuk sehat anda nggak perlu makan makanan yang bergizi, karena toh orang yang makan bergizi tetep saja sakit. Kesimpulannya adalah:

·Sudah benarkah si pemakan tadi dalam memakan yang bergizi tesebut? Apakah kadarnya tepat, frekuensinya benar, cara makannya benar, dan seterusnya.

·Apakah para pakar hanya menginstruksikan makan yang bergizi saja untuk mencapat tujuan sehat? Ternyata para pakar juga menginstruksikan anda juga harus berolah raga secara teratur, istirahat cukup, hindari stress, cukup minum, dan lain-lain. Jadi makan saja ternyata nggak cukup untuk mencapai tujuan sehat tadi. Masing-masing hal di atas (makan bergizi, olah raga teratur, istirahat cukup) itu punya porsi dan fungsinya masing-masing dalam perannya untuk menciptakan badan yang sehat.

Begitu juga dalam ibadah. Allah menyatakan diantaranya bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Untuk mencapai tujuan sholat (mencegah perbuatan keji dan munkar, mengingat Allah), pertama kita harus melakukan sholat dengan benar (menghadirkan hati) dan kedua juga harus mengikuti instruksi Allah SWT yang lain seperti Zakat, puasa, menjaga kemaluan, dan lain-lain. Kalau masih belum sempurna, usahakan untuk terus memperbaikinya, bukan memberhentikan sholatnya, seperti halnya memberhentikan makan dalam analogi di atas.

Terakhir, menarik jawaban Prof. Muhsin Qiraati (seorang mufassir al-quran kontemporer) dalam salah satu bukunya ketika ditanya, sbb:

Soal:

Bila shalat dapat menahan orang untuk tidak melakukan perbuatan buruk, mengapa sebagian orang yang melaksanakan shalat masih juga berbuat keburukan?

Jawab:

Pertama, benih yang kosong tidak akan pernah bisa tumbuh. Shalat tanpa menghadirkan hati, khusyuk, seperti benih yang kosong yang tidak bakal pernah tumbuh. Salat akan membuat manusia menjauhi perbuatan buruk bila dilakukan dengan khusyuk. Tanpa kekhusyukan ucapan yang kita baca dan gerakan yang dilakukan tidak akan berarti.

Bila sekolah memberikan kemampuan kepada siswanya untuk tumbuh secara keilmuan, itu tidak berarti setiap yang belajar ke sekolah pasti berhasil. Seorang yang berhasil di sekolah karena belajar dengan giat dan apa yang dipelajari dipahami. Salat pun demikian. Bila dilakukan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam agama, ia dapat menahan seseorang dari perbuatan buruk. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Ankabut: 45).

Kedua, seorang yang melakukan shalat dan masih melakukan perbuatan keji dan mungkar, akanmelakukannya lebih banyak seandainya ia tidak shalat. Karena ia harus melakukan shalatnya dengan pakaian yang suci dan halal. Pakaian dan tempat yang dihasilkan dengan jalan halal. Dengan menjaga hukum yang semacam ini, membuat seorang yang melakukan shalat terjaga dari perbuatan dosa. Sebagaimana seseorang yang memakai pakaian putih tidak akan duduk di sembarang tempat, untuk menjaga agar pakaiannya tidak kotor.

Wallahualam,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun