Mohon tunggu...
Perempuan
Perempuan Mohon Tunggu... Buruh - Mencintai adalah bentuk baktiku

Menulis akan selalu hadir sebagai karya hidup

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Resensi] Prosa yang Alot Disuguhkan Andi Wi

16 November 2016   14:22 Diperbarui: 16 November 2016   14:29 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : dokumen Pribadi

Dunia sastra Indonesia digairahkan oleh buku kumpulan prosa berjudul Ritual Lima Menit karya Andi Wi. Ritual Lima Menit adalah buku pertama yang dicipta oleh Andi Wi dengan penerbit Jentera Pustaka. Andi Wi adalah blogger aktif di Kompasiana. Hampir tulisan yang dia buat di kompasiana menjadi Headline. Bagi para blogger di genre fiksi mengenal Andi Wi sebagai penulis puisi yang gayanya seperti Sapardji Djoko Damono atau Goenawan Muhammad. Namun di buku ini Andi Wi mengekspresikan imajinasinya lewat kumpulan prosa walau kadangkala tak tahan untuk menyelipkan puisi nyentriknya.

Penggarapan tema yang dilakukan Andi Wi memang terlihat biasa yaitu cinta namun ia lebih menspesialkan tema cinta kepada arti kehilangan. Kehilangan seseorang dibungkus dalam bentuk prosa yang sangat alot. Mengapa saya bilang alot? Karena pembaca akan dibuat membacanya dengan hati-hati kemudian menikmatinya. Semakin perlahan membaca maka semakin menikmatinya sehingga akan menimbulkan kesan bahwa kehilangan dalam cinta memang membuat resah dan gelisah.

Pembahasan kehilangan lebih menyentuh pada salah satu prosa yang berjudul “Hal-hal Yang Terjadi Ketika Kamu Pergi (6)” Di prosa tersebut diceritakan tentang seorang lelaki yang sangat gelisah ketika kehilangan wanitanya. Kegelisahannya dideskripsikan sangat detail seperti pada kutipan :

“Pada suatu malam hari, ketika suara-suara lesap didekap gelap, kopi terasa lebih dingin dari angin, orang-orang mulai tidur tengkurap, telentang dan mungkin saja mereka sedang asyik-asyiknya bermimpi indah. Kamu tahu Lis, aku ragu, jika di dunia ini tak ada Tuhan. Apakah aku mampu menghukum diriku sendiri karena kesalahan”

Kutipan itu mewakili sedikit dalam buku tersebut. Buku kumpulan prosa “Ritual Lima Menit” terdiri dari 89 prosa. Diawali dengan prosa berjudul “Ritual Lima Menit” dan diakhiri dengan prosa berjudul “Pulang”. Ada tujuh prosa “Hal-hal yang Terjadi Ketika Kamu Pergi” dibuat dalam bentuk cerita yang berbeda. Terdiri dari 93 halaman, cukup pas dibaca ketika akhir pekan.

Hal yang menarik dari kumpulan prosa “Ritual Lima Menit” ini adalah pada sudut pandang. Sangat sedikit penulis menggunakan sudut pandang orang kedua. Andi Wi meramu semua prosa diceritakan dengan sudut pandang orang kedua. Dipastikan ketika membaca, pembaca memposisikan dirinya menjadi orang kedua, maka pembaca seakan-akan menjadi tokoh dalam prosa tersebut. Kata kamu menjadi pilihan kata yang digunakan sebagai tokoh dalam hampir semua prosa yang dibuat. Seperti pada kutipan prosa berjudul “Hujan dan Pelukan yang Kamu Kembalikan” :

“Kamu tahu, bagi sebagian orang, hujan adalah ringkasan. Di mana kesedihan dan kebahagiaan seperti halaman usang yang mencoba memaksa harus dibuka kembali. Entah nanti yang timbul senyum kecil atau tangis berakhir tragis.. Tidak. Tidak sampai di situ saja. Bagiku, hujan adalah simbol kejujuran. Ada kata sepakat ketika hujan minggat; aku dan kamu sudah tak lagi dekat. Namun kenangan tentangmu, seperti rintik hujan itu.”

Bukan hanya sudut pandang yang menarik, namun gaya bahasa yang digunakan Andi Wi pada prosanya memang tak lazim digunakan namun begitu bernilai estetik. Hampir di setiap paragrafnya terdapat gaya bahasa yang menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Andi Wi menitikberatkan pada gaya bahasa seperti pada puisinya. Gaya bahasa metafora dan hiperbola seringkali digunakan seperti pada kutipan prosanya berjudul “Ritual Lima Menit” :

“Kita pernah dibujuk cinta yang paling manja, yang barangkali tak semua orang mengalaminya. Satu waktu, ketika cahaya bulan berjatuhan, kamu memintaku mengumpulkan doa dengan mata memejam. Aku namakan ritual lima menit...Hingga kamu benar-benar pergi, ritual itu, masih saya lakukan;memejamkan mata ketika hendak tidur. Berharap kita masih sanggup bersua oleh cinta yang paling manja. Tapi tidak! Yang paling manja ialah air mata yang paling setia.

Mungkin saja pembaca sedikit mengernyitkan dahinya saat membaca namun pembaca akan menemukan sesuatu gaya bahasa yang baru nan indah pada sebuah kreativitas. Mungkin juga akan banyak yang mengkritisi kumpulan prosa ini pada segi gaya bahasa yang lebih pantas digunakan pada sebuah puisi.

Hal yang perlu dikritisi adalah teknik penceritaan yang mengedepankan aspek alur, Andi Wi telah menggiring paradigma pembaca pengembangan estetika sungguh tak terbatas. Alur yang digunakan tanpa tahapan yang klimaks namun di situlah esensi kehadiran kreator teruji bahwa seorang pengarang bukan berperan sebagai pengisah yang piawai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun