Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sikap Cerewet Belanja di Ritel Modern

13 Desember 2018   22:47 Diperbarui: 15 Desember 2018   08:47 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minimarket seperti Alfamart dan Indomaret menjamur. Keduanya tumbuh menjadi "toko serba ada" modern yang hampir bisa dijumpai di sudut kota, bahkan masuk ke desa-desa. Ada dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu saja soal ketersediaan kebutuhan warga yang mereka bisa peroleh dengan cepat. Juga soal terserapnya tenaga kerja dimana toko modern ini berada. 

Sisi negatifnya, dan mungkin ini masih debatable, adalah soal redupnya usaha-usaha kecil di sekitarnya. Pengusaha kecil masih terseok-seok soal modal dan manajemen berdagang, dan pada waktu bersamaan mereka digempur oleh toko dengan modal dan pengelolaan yang modern. Tentu saja ini menjadi tantangan pemerintah untuk memacu keduanya agar tidak timbul masalah kesenjangan.

Saya sendiri adalah orang yang suka cerewet saat berbelanja di Alfamart dan Indomaret. Catatan, kedua merek gerai ini hanya jadi contoh saja, karena tentu saja ada banyak merek bisnis serupa.

Pertama, soal kebutuhan yang hendak di beli. Jika kebutuhan masih bisa saya dapat di toko di luar keduanya, yakni di kios-kios kecil milik warga, saya memprioritaskan berbelanja di kios kecil itu. Hitung-hitung membantu mereka.

Kedua, saya sering berbelanja dengan total belanjaan ada angka-angka kecilnya. Misalnya belanja dengan harga Rp 8.800. Jika uang saya Rp. 10.000 tentu ada kembalian Rp 1.200. Nah, seringkali uang kembalian ini tidak dikembalikan utuh oleh karyawan toko. Yang diserahkan hanya Rp 1.000. Tidak pula menawarkan apakah sisa yang Rp 200 itu mau didonasikan atau bagaimana. 

Anggap saja karyawan itu lupa, maka saya mengingatkan bahwa masih ada kembalian Rp 200 lagi yang belum. Pengalaman saya belanja, karyawan akan dengan cepat memberikan kembalian yang lebih dari angka sebenarnya. Misalnya, kembalian saya Rp 1.200, karyawan malah membulatkannya menjadi Rp 1.500.

Apa saya senang? Tidak. Saya justru komplain lagi dengan sedikit sok bahwa itu jumlah yang tidak berhak saya terima. Karyawan bilang tidak apa-apa, tapi tetap saya mau kembalian yang sebenarnya.

"Ndak apa-apa pak, terima saja yang ini, soalnya tidak ada uang logam dua ratus rupiah," pernah karyawan bilang begitu.

Saya balik berkata, "Lho, kalau nggak siap dengan uang pecahan kecil, kenapa menjual barang dengan harga yang rata-rata ada pecahan kecilnya? Kenapa nggak jual barang dengan harga yang pas, misalnya angkanya Rp 500 atau Rp 1.000, biar gampang pengembaliannya?

Soal ini, salahkah saya? Pelit kah saya? Menurut saya, teliti berbelanja di pengusaha besar tentu penting. Kalau belanja di kios kecil tentu saya tidak akan secerewet itu. Karena ini usaha besar, nominal kecil tetapi jika dikali banyak, tentu jumlahnya akan banyak.

Program donasi yang ditawarkan karyawan tentu kita apresiasi, apalagi penyalurnya adalah lembaga-lembaga yang bagus seperti Lazis-NU dan lain-lain yang bekerjasama dengan usaha besar ini. Saran saya, baiknya donasi itu difokuskan untuk pemberdayaan usaha mikro yang ada di sekitar gerai tersebut, agar protes-protes atas matinya usaha warga dengan kehadiran gerai modern bisa ditekan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun