Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

TGB, Capres, dan Standar Ekspektasi Kita

6 Juli 2018   10:52 Diperbarui: 6 Juli 2018   12:39 3492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: TGB.id

Hingga saat ini, saya belum melihat kesibukan Tuan Guru Bajang (TGB) HM. Zainul Majdi berusaha mengumpulkan wartawan baik di kantornya maupun di rumah dinasnya selaku Gubernur NTB. Kesibukan untuk apa? Kesibukan mengklarifikasi berita yang dalam dua hari ini bikin heboh: ia mendukung Jokowi 2 periode (benarkah?). Beritanya ada di mana-mana, di Kompas, Detik, CNN Indonesia, dan lain-lain.

Setahu saya, TGB agak "sensitif" soal pemberitaan media, apalagi jika itu berkaitan dengan politik. Biasanya dia akan langsung mengklarifikasi berita jika dianggap tidak benar.

Beda TGB, beda pula pendukung. Ada yang langsung mengamini sikap politiknya dan membaiat diri akan ikut siapapun pilihan TGB. Sebaliknya, ada yang terkejut, sekaligus terus berikhtiar mencari link berita yang tidak sama dengan isi berita meanstream. Mungkin saja berita TGB dukung Jokowi itu hoaks, dan sudah seharusnya hoax. Pikirnya, Jokowi selama ini dicap antiulama, dicap PKI, eh sekarang katanya didukung oleh ulama kita, hafiz kita. Sudah pasti ini hoaks dan hanya untuk menaikkan pamor Jokowi. Demikian kata sebagian orang.

Mari kita urai satu per satu penyebab kehebohan ini

Pertama, tentu saja karena TGB adalah bagian dari aktor politik

Ia diperhitungkan dalam konteks nasional. Jika ia adalah politisi biasa, kehebohan tidak seperti sekarang. Ada banyak peristiwa politik ditandai dengan munculnya aktor politik baru yang sesuai momentumnya. Dua periode memimpin NTB cukup bagi dia untuk menjajal tempat yang lebih tinggi. Kan sekarang eranya demikian.

Orang-orang daerah diberi kesempatan berkiprah di tingkat yang lebih tinggi lagi. Kelebihan lain-lain akan mendukung citra dirinya. Teorinya kan memang demikian. Semakin tinggi lokus pertempuran, maka semakin banyak citra-citra diri yang dibutuhkan. Kesulitan menjangkau wilayah yang luas secara langsung akan bisa diatasi oleh meratanya citra diri lewat beragam media. Lagi pula sekarang ini TGB juga sedang menikmati perannya sebagai King Maker Pilkada NTB. Paket Zulkieflimansyah-Zulrohmi, di mana ia berperan sebagai desainernya, menang.

Saya pernah mengurai kemunculan tokoh di antara dua tokoh lama dalam pendekatan komunikasi politik masing-masing: Jokowi, TGB, dan Prabowo. Nomor 1 dan 3 sudah terlalu populer. Publik menginterpretasikannya sebagai dua kutub yang berlawanan. Jika Jokowi di kiri, maka Prabowo di kanan.

Persepsi ini akan terus ada hingga Pilpres mendatang. Yang di tengah, TGB, yang dinilai sebagai "pemain baru" yang mulai memukau. Ia adalah produk daerah yang mulai meramaikan jagat kontestasi nasional. Soal ini ada baiknya saya sodorkan satu atau dua fakta.

Berdasarkan data salah satu lembaga, jumlah pemilih pemula usia 17-30 tahun pada Pilpres mendatang mencapai 30 persen dari total seluruh pemilih. Ini angka yang tidak bisa diremehkan. Mereka ini ditandai sebagai pemilih kritis namun belum punya pijakan, pemilih yang lebih memilih calon berdasarkan pendekatan artifisial calon, seperti bentuk tubuh, fashion dan lain-lain. Rata-rata kelompok ini dekat dengan gadget. Karena itu tentu mereka dekat dengan hal-hal yang sifatnya menghibur, gaul, dan penyebutan-penyebutan lainnya.

KPU sendiri terus-menerus memberikan penyadaran kepada mereka agar menjadi pemilih pemula yang mengerti betul kenapa mereka harus memilih. Potensi pemilih milenial yang besar membuat para calon, lewat bisikan konsultan politik masing-masing, melakukan beragam pendekatan. Calon melakukan banyak cara agar setidaknya mereka dianggap mewakili anak-anak muda ini.

Jokowi misalnya, rajin muncul di channel Youtube atau TV sedang melakukan aktivitas nge-vlog. Bukan tanpa tujuan Jokowi muncul dengan salam khas metal lalu sesekali mencoba memetik senar gitar. Jaket dan payung yang dipakai mantan pengusaha kayu ini di-blow up sedemikian rupa agar menjadi tren lalu digandrungi publik. Jokowi tengah memainkan simbol-simbol sebagai bagian dari komunikasi politiknya dalam rangka mendekati kelompok pemilih milenial yang di atas itu. Sebagai petahana, Jokowi setidaknya sudah mengunci beberapa elemen penting sebagai modal menang,

Calon-calon lain yang satu angkatan dengan Jokowi belum terlihat serius menggarap anak muda, bahkan ada tidak terlihat sama sekali. Angkatan Jokowi yang paling kentara tentu saja Prabowo Subianto.

Sekali lagi anggap saja ini soal remeh-temeh yang bernama komunikasi politik lewat permainan simbol anak muda. Sangat sulit melacak rekaman-rekaman Prabowo yang mencerminkan dia punya nafas muda baik dari segi gestur, mode pakaian, hobi dan lain-lainnya. Konsultan terlalu nyaman mem-branding Prabowo sebagai pecinta kuda dengan segala aura ketegasan.

Tembakannya jelas, terbangun persepsi besar bahwa yang diperlukan saat ini adalah pemimpin tegas, setegas Prabowo. Jangan membayangkan Prabowo tiba-tiba muncul menggunakan kostum konser lalu tiba-tiba mengambil mic dan meneriakkan lirik-lirik Superman Is Dead misalnya. Tembakan Prabowo lebih besar dari target anak muda yang digarap Jokowi. Pertanyaannya, sampai kapan Prabowo di-branding mengendarai kuda?

Nah, ada wajah-wajah baru yang mulai bergerak dari pinggir ke tengah arena pertempuran. Berbeda dengan Prabowo, pendatang baru ini juga menjadikan pemilih angkatan Y dan Z sebagai salah satu garapan utama. TGB masuk di jajaran ini.

TGB adalah cucu ulama besar pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi besar di NTB. TGB adalah perpaduan ulama dan umara. Dia dianggap berhasil memimpin NTB, dan itu jadi modalnya mencoba tantangan baru menjadi pemimpin nasional. TGB masih muda. Dia masih bajang. Ini simbol yang bisa dimaksimalkan untuk menggaet pemilih muda. TGB menyadari itu. Karena itulah hobi bersepeda tidak hanya akan mendukung kebugaran badannya yang atletis, tetapi juga karir politiknya. Bajang atau muda adalah pilihan branding yang pas.

TGB di sebuah pengajian belum lama ini. (sumber : www.radarlombok.com)
TGB di sebuah pengajian belum lama ini. (sumber : www.radarlombok.com)

Kedua, ini soal Jokowi dan Pilpres.

Sudah pasti keriuhannya berskala luas. Sebagai orang komunikasi, mengamati ragam penilaian terhadap presiden kurus ini sangat-sangat mengasyikkan karena seringkali ada dua pendapat yang kontras dimunculkan pada saat yang bersamaan oleh orang yang sama pula. Misalnya begini. Jokowi diolok-olok sebagai seorang presiden lemah, boneka, macam - macam.

Tapi pada waktu bersamaan ia juga diasosiasikan sebagai presiden otoriter, berkuasa menggunakan kekerasan. Tu kan? Dua pendapat yang berseberangan pada waktu yang sama. Mana yang benar? Yang saya tau, Jokowi itu terkenal piawai soal pilih-pilih bawahan dan mitra kerja. Ia tidak tau banyak hal teknis, tapi dia cerdas memilih orang-orang yang bisa men-teknis-kan pikiran-pikiran besarnya.

Jadi anggap saja merapatnya TGB ke Jokowi adalah bagian dari kepiawaian Jokowi memilih orang, baik yang akan mendukung kinerjanya, maupun yang akan mengerek posisi elektoralnya di Pilpres nanti.

Yang mesti diingat, TGB waktu Pilpres dulu mendukung Prabowo. Prabowo menang di NTB. Di salah satu media online, pihak Gerindra bereaksi dengan arah baru dukungan TGB dengan menegaskan bahwa "NTB itu masih basis kami". Ini semacam penegasan Gerindra bahwa kemenangan di NTB waktu Pilpres dulu bukan semata-mata karena TGB. Wow. Kalau gitu pembuktiannya kembali nanti aja di Pilpres 2019.

Ketiga, ini soal SBY.

Lho kok bisa soal SBY? Ya jelas lah. SBY masih sebagai tokoh politik kunci di negeri ini. Dua tahun dia berkuasa. Sangat lebih dari cukup bagi dia untuk membangun infrastruktur politiknya dengan memadai. Hampir belum ada skema dan skenario politik Pilpres yang tidak melibatkan namanya.

Pun menyangkut nama anaknya, AHY, yang namanya kian banyak dibicarakan, tidak lepas dari "polesannya". Soal cara SBY menyiapkan panggung bagi anaknya, hanya bisa diterjemahkan secara manusiawi oleh kita-kita yang sudah punya anak ini. Untuk anak, orang tua sudah pasti akan melakukan banyak hal. Karenanya saya tidak akan meremehkan AHY. Sebab ada SBY di belakangnya. SBY adalah pimpinan Partai Demokrat, salah satu partai yang menentukan tiket calon presiden wakil presiden.

Jika di elit ada AHY, maka di akar ada TGB. Dua-duanya kader Demokrat. Saya tidak percaya tidak ada friksi keras di internal Demokrat soal munculnya dua nama ini. Saya juga tidak percaya tidak ada saling jegal untuk menaikkan yang satu dan minindih yang lain. Anggap saja ini semacam pertarungan dua klan dalam dinasti yang sama. Posisi SBY bagaimana? Kita ambil jalan tengah. Kita anggap SBY tidak mati-matian mempertahankan nilai tawar anaknya karena melihat tren elektabilitas yang justru mengarah ke kadernya yang lain yakni TGB.

Karena itu kartu harus dimainkan dengan cantik. Dua-duanya adalah peluru, baik untuk memperlebar spektrum suara Demokrat dan memperlebar jejaring koalisi baik ke partai pro pemerintah maupun partai oposisi.

AHY biarlah bermain bebas, sementara TGB biarlah membangun komunikasi intens dengan istana. Tentu akan membanggakan kalau nanti tiba-tiba muncul dua Paslon : Prabowo-AHY dan Jokowi-TGB. Dua-duanya SBY banget kan?

Jika tidak mau ambil jalan tengah, anggap saja TGB ini anak "yang tidak diharapkan" itu. Mirip-mirip dengan kemunculan Anas Urbaningrum yang tidak diharapkan tapi justru jadi ketua partai. Namanya anak yang tidak diharapkan. Hidupnya tanpa jaminan. Nasib Anas Urbaningrum tanpa jaminan.

Usaha gencar TGB mengamankan ceruk pemilih Islam identitas belakangan ini sangat mencemaskan. TGB mudah saja melakukan itu karena latar belakang pendidikannya mendukung, plus saat ini ia tengah memimpin salah satu organisasi massa besar bernama Nahdlatul Wathan (NW). Dia sedang moncer di bawah, sementara elit partainya menghendaki lain. Nah, pada posisi sedang melawan "kekuatan besar" inilah kemudian TGB membutuhkan penyokong. Siapa dia? Ya Jokowi. Pernyataan mendukung Jokowi adalah muara dari kelindan itu.

Keempat, ini soal pendukung.

Kompleksnya peristiwa politik nasional dan lokal yang menjadi lanskap sikap TGB tentu saja tidak utuh diterima pendukung. Mereka taunya hanya ada dua warna di politik hari ini ; TGB Nyapres atau TGB nyalon jadi Wapres mendampingi Prabowo. Tidak ada opsi di luar itu. Opsi menteri juga tidak ada. Pokoknya Nyapres.

Lalu apakah ekspektasi yang tinggi ini sepenuhnya salah? Sebentar dulu. Yang ini membutuhkan kajian sosiologis yang lebih rinci. Bagi warga NTB, dan mayoritas orang Sasak, kemunculan TGB di kancah nasional adalah semacam oase. Telah lama Sasak diasosiasikan sebagai bangsa terbelakang di hampir semua segi.

Cap ini lalu membias ke ranah politik pemerintahan yang dampaknya menjadi bagian dari memori publik. Misalnya, di sepanjang proses dukung-mendukung, dimanakah jatah orang Sasak setelah sukses mengantar orang jadi pemenang? Selalu tidak ada. Nah, TGB lalu muncul dan menguatkan emosi publik bahwa oh ternyata kita punya tokoh yang bisa bersaing di atas. Ekspektasi dimulai dari sini.

Masalahnya, over ekspektasi justru berakibat buruk. Pertama ya seperti ulasan di atas. Menegasikan kondisi dalam dan luar TGB hanya akan menimbulkan kekecewaan pendukung jika ternyata ekspektasi itu tidak sesuai harapan. Politik ini dibuat santai saja. Mengalir. Pilpres masih lama. Permainan masih akan berlangsung lama. Biasakan lah diri menerima kejutan-kejutan baru.

Salam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun