Mohon tunggu...
Rasinah Abdul Igit
Rasinah Abdul Igit Mohon Tunggu... Lainnya - Mengalir...

Tinggal di Lombok NTB, pulau paling indah di dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

TGB, Capres, dan Standar Ekspektasi Kita

6 Juli 2018   10:52 Diperbarui: 6 Juli 2018   12:39 3492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: TGB.id

Jika di elit ada AHY, maka di akar ada TGB. Dua-duanya kader Demokrat. Saya tidak percaya tidak ada friksi keras di internal Demokrat soal munculnya dua nama ini. Saya juga tidak percaya tidak ada saling jegal untuk menaikkan yang satu dan minindih yang lain. Anggap saja ini semacam pertarungan dua klan dalam dinasti yang sama. Posisi SBY bagaimana? Kita ambil jalan tengah. Kita anggap SBY tidak mati-matian mempertahankan nilai tawar anaknya karena melihat tren elektabilitas yang justru mengarah ke kadernya yang lain yakni TGB.

Karena itu kartu harus dimainkan dengan cantik. Dua-duanya adalah peluru, baik untuk memperlebar spektrum suara Demokrat dan memperlebar jejaring koalisi baik ke partai pro pemerintah maupun partai oposisi.

AHY biarlah bermain bebas, sementara TGB biarlah membangun komunikasi intens dengan istana. Tentu akan membanggakan kalau nanti tiba-tiba muncul dua Paslon : Prabowo-AHY dan Jokowi-TGB. Dua-duanya SBY banget kan?

Jika tidak mau ambil jalan tengah, anggap saja TGB ini anak "yang tidak diharapkan" itu. Mirip-mirip dengan kemunculan Anas Urbaningrum yang tidak diharapkan tapi justru jadi ketua partai. Namanya anak yang tidak diharapkan. Hidupnya tanpa jaminan. Nasib Anas Urbaningrum tanpa jaminan.

Usaha gencar TGB mengamankan ceruk pemilih Islam identitas belakangan ini sangat mencemaskan. TGB mudah saja melakukan itu karena latar belakang pendidikannya mendukung, plus saat ini ia tengah memimpin salah satu organisasi massa besar bernama Nahdlatul Wathan (NW). Dia sedang moncer di bawah, sementara elit partainya menghendaki lain. Nah, pada posisi sedang melawan "kekuatan besar" inilah kemudian TGB membutuhkan penyokong. Siapa dia? Ya Jokowi. Pernyataan mendukung Jokowi adalah muara dari kelindan itu.

Keempat, ini soal pendukung.

Kompleksnya peristiwa politik nasional dan lokal yang menjadi lanskap sikap TGB tentu saja tidak utuh diterima pendukung. Mereka taunya hanya ada dua warna di politik hari ini ; TGB Nyapres atau TGB nyalon jadi Wapres mendampingi Prabowo. Tidak ada opsi di luar itu. Opsi menteri juga tidak ada. Pokoknya Nyapres.

Lalu apakah ekspektasi yang tinggi ini sepenuhnya salah? Sebentar dulu. Yang ini membutuhkan kajian sosiologis yang lebih rinci. Bagi warga NTB, dan mayoritas orang Sasak, kemunculan TGB di kancah nasional adalah semacam oase. Telah lama Sasak diasosiasikan sebagai bangsa terbelakang di hampir semua segi.

Cap ini lalu membias ke ranah politik pemerintahan yang dampaknya menjadi bagian dari memori publik. Misalnya, di sepanjang proses dukung-mendukung, dimanakah jatah orang Sasak setelah sukses mengantar orang jadi pemenang? Selalu tidak ada. Nah, TGB lalu muncul dan menguatkan emosi publik bahwa oh ternyata kita punya tokoh yang bisa bersaing di atas. Ekspektasi dimulai dari sini.

Masalahnya, over ekspektasi justru berakibat buruk. Pertama ya seperti ulasan di atas. Menegasikan kondisi dalam dan luar TGB hanya akan menimbulkan kekecewaan pendukung jika ternyata ekspektasi itu tidak sesuai harapan. Politik ini dibuat santai saja. Mengalir. Pilpres masih lama. Permainan masih akan berlangsung lama. Biasakan lah diri menerima kejutan-kejutan baru.

Salam...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun