Mohon tunggu...
R ANGGOROWIJAYANTO
R ANGGOROWIJAYANTO Mohon Tunggu... Guru - Guru Tetap Yayasan di SMP Santo Borromeus Purbalingga

Saya adalah seorang Guru Swasta yang menyukai dunia tulis menulis dan tertarik dengan dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pragmatisme Pemimpin di Jumat Agung

3 April 2023   13:35 Diperbarui: 3 April 2023   13:43 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Bhayangkari

Jumat Agung menjadi momen yang penting sekaligus mengharu biru dalam rentetan pekan suci umat Kristiani. Mengharukan secara manusiawi namun sekaligus mengokohkan iman percaya akan karya keselamatan Allah bagi umat  Kristiani.

Jumat Agung menjadi momen betapa Yesus menjadi tokoh yang kuat dalam prinsip akan keyakinan iman bagi misi menyelamatkan banyak orang. Pemimpin yang begitu diidolakan dalam momen Minggu Palma, namun seketika juga menjadi pemimpin yang dicap sebagai penista agama dalam pengadilan Pontius Pilatus.

Pontius Pilatus sebagai gubernur pada saat itu memiliki kewenangan yang begitu besar atas nama keadilan. Dalam pemerintahan romawi, aparatur romawi lah yang berhak atas lembaga peradilan. Orang Yahudi sebagai masyarakat jajahan tidak berhak atas peradilan dalam masyarakat.

Pilatus pada saat Yesus diperhadapkan dihadapannya, sebenarnya sangat paham siapa Yesus sebenarnya. Ia sangat gentar ketika harus mengadili Yesus yang dianggap bersalah oleh para ulama Yahudi pada waktu itu. Para ulama merasa tersaingi oleh popularitas Yesus sebagai pemimpin agama pada saat itu. Ketidaklaziman Yesus saat bernubuat, mengadakan mukjizat, dan sepak terjang lainnya dianggap melanggar hukum agama yang mereka yakini benar. Namun bagi Yesus, para ulama Yahudi itu hanya menghafal ayat-ayat dalam kitab suci namun tidak pernah menjadi pelaku firman itu sendiri.

Kedengkian para ulama Yahudi sangat diapahami oleh Pilatus, sehingga dia sangat gentar kalau harus menjatuhkan vonis bagi Yesus. Karena sebenarnya Pilatus sendiri sebenarnya percaya bahwa seluruh pekerjaan yang dikerjakan Yesus pada saat itu adalah pekerjaan yang berasal dari Sorgawi. Dimana tidak orang sakit disembuhkan, orang buta melihat, orang tuli dibukakan telinganya, belum lagi orang mati pun dibangkitkan.

Sampai-sampai istri Pilatus pun mengirimkan pesan pada suaminya agar jangan menjatuhkan vonis kepada Yesus. Karena ia yakin bahwa Yesus adalah orang benar. Perasaan istri Pilatus ini sampai mengganggu tidurnya sehingga ia tidak mau Pilatus melakukan kesalahan dalam menjatuhkan vonis bagi Yesus.

Namun hasutan para ulama Yahudi kepada orang banyak membuat massa semakin beringas dan meneriakkan penyaliban bagi Yesus. Pilatus dalam suasana batin yang mendua antara memilih mempertahankan jabatannya dengan cara menjatuhkan vonis mati bagi Yesus atau tetap teguh dalam keyakinannya bahwa Yesus berasal dari Allah. Pilatus berpikir seribu cara agar dirinya juga aman secara jabatan tetapi juga tidak bersalah dalam menjatuhkan hukuman. Maka sebgai pemimpin dia mulai berpikir cerdas namun pragmatis dan mengorbankan orang lain.

Pilatus memilih untuk mengikuti permintaan banyak orang untuk menjatuhkan vonis hukuman mati bagi Yesus. Namun dengan cara licik yaitu mencuci tangan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan vonis sebagai simbol kalau vonis yang dijatuhkannya bukan berasal dari dirinya tetapi dari massa yang datang pada saat itu. Politik kotor pun dilakukannya demi mempertahankan kedudukannya sebagai Gubernur pada saat itu. Massa yang sudah tersulut emosinya karena muslihat para ulama pun menjawab bahwa mereka yang bertanggung jawab penuh atas darah atas darah yang tertumpah. Bahkan mereka memilih membebaskan penjahat yang bernama Yesus Barabas daripada Yesus Kristus yang sudah banyak memberi kehidupan pada banyak orang.

Pemimpin Pragmatis saat ini juga sudah mulai bermunculan, ada yang memanfaatkan penderitaan orang lain demi ambisi politiknya, ada yang memanfaatkan kekayaannya demi ambisi jabatannya,  dan ada pula yang memanfaatkan identitasnya yang sama dengan orang banyak untuk menjatuhkan lawan politiknya. Pemimpin- pemimpin seperti ini tentu akan sangat mudah untuk mencuci tangannya apabila muncul permasalahan dalam masa kepemimpinannya. 

Pemimpin yang tidak pernah tuntas dalam menjalankan janji-janji politiknya dan cenderung mengorbankan orang lain untuk mempertahankan kedudukannya. Tidak pernah tuntas adalah ciri pragmatisme seorang pemimpin. Selalu saja mencari kambing hitam untuk keputusan yang seharusnya diputuskannya. 

Melalui peristiwa Jumat Agung kita semua diingatkan agar jangan memberi ruang pada pragmatisme kepemimpinan dalam ruang politik di Indonesia. Juga tidak memberi ruang buat diri kita sendiri agar kita tidak masuk dalam pragmatisme politik. Jadilah pemimpin yang natural yang selalu ingin menyelesaikan setiap tujuan yang akan mensejahterakan bagi banyak orang.  Pemimpin yang bisa menjadi berkat bagi banyak orang, bukan pemimpin yang justru membawa bencana bagi banyak orang. Selamat merenungkan Jumat Agung..........Salam Sehat !

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun