Mohon tunggu...
Qurrota Ayuni Fitriana
Qurrota Ayuni Fitriana Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis @psikologiempathy dan Pengajar

Life for learn, learn for life.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

5 Cara agar Tidak Terjebak Hustle Culture

1 Desember 2021   17:00 Diperbarui: 2 Desember 2021   01:00 1277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hustle culture | Gambar dari www.kompas.com

 Indonesia sendiri tidak ada istilah khusus, namun terdapat suatu jargon "kerja, kerja, kerja, tipes!" menjadi semacam sindiran bahwa para pekerja ini jika terus melakukan kerja keras hingga lupa waktu justru bisa mengakibatkan jatuh sakit. 

Kondisi ini menjadi sebuah ironi karena di masa pandemi banyak orang yang kehilangan pekerjaan, namun di sisi lain mereka yang bekerja terlampau keras hingga kondisi kesehatannya terganggu. Tidak hanya kesehatan fisik, namun kondisi kesehatan mental bisa terpengaruh.

Studi dari Finnish Institute of Occupational Health dan London University menyebutkan bagi seseorang yang bekerja lebih dari 11 jam per hari, memiliki kemungkinan 2,5 kali lebih tinggi mengalami gejala depresi dibandingkan yang bekerja dalam waktu 7-8 jam per hari. 

Survei dari Mental Health Foundation UK di Inggris menyebutkan, lebih dari setengah pekerja yang menjalani jam kerja panjang merasa depresi, cemas, dan merasa mudah marah. 

Khususnya di masa pandemi saat banyak orang berlomba untuk tetap produktif meski Work From Home (WFH), hal ini membuat jam kerja yang lebih panjang sehingga seseorang lebih rentan terkena stress karena terpicunya hormon kortisol.

Ketegangan yang muncul akibat stres tersebut dalam jangka panjang bisa menyebabkan berkembangnya gejala depresi.

Akibat lain yang dimunculkan dari hustle culture ini adalah mengorbankan aktivitas untuk diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. 

Waktu berkualitas yang seharusnya dilalui dengan pasangan, keluarga, teman atau melakukan kegiatan sosial menjadi terganggu. 

Begitu juga waktu untuk merasakan me-time untuk hobi dan kegiatan menyenangkan diri tidak bisa dijalani dengan sepenuhnya. Padahal hal-hal tersebut di atas adalah indikator yang bisa mempertahankan dan membuat seseorang bertahan agar tidak mengalami masalah kesehatan mental. 

Keseimbangan antara karir dan kehidupan pribadi pun menjadi berat sebelah, sehingga bisa mengakibatkan lelah berkepanjangan yang melahirkan gejala burnout. 

Burnout bisa membuat kemampuan bekerja menurun, berpandangan negatif terhadap pekerjaannya dan memiliki masalah dengan rekan kerjanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun