Mohon tunggu...
Qur Rohman
Qur Rohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ciptakan rasa senang, pastikan anda bisa

Bismillah namsyi ala barakatillah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peliknya hidup akibat corona tak kunjung reda

13 April 2020   11:06 Diperbarui: 13 April 2020   16:51 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang suami yang bingung mau ngapain ganbar from meme.com

Mungkin ini adalah uneg-uneg saja yang saya tuangkan lewat tulisan. Ini bukanlah untuk mengkritisi ataupun mendeskriminasi. Ini adalah ocehan pikiran saja dari penulis.

Berawal dari diterapkannya berbagai aturan pemerintah. Baik social discanting, physical discanting hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Nampaknya hal ini membuat kami kewalahan soal ekonomi. Ya, sejak covid-19 melanda negeri ini. Para warga negara dibatasi pergerakannya demi mengantisipasi penyebaran virus corona. Virus ini lumayan hebat dalam membuat korban menjadi terkena. Melalui salaman atau jabat tangan ataupun bersin.

Para warganet mulai ketakutan akibat korban positif yang semakin besar. Mereka mulai mempersiapkan bekal makanan agar tidak keluar rumah dalam beberapa hari. Stok makanan di Toko-toko, swalayan ludes diserbu pembeli. Ini sih di kota lain lagi di desa.

Warga desa agak terlambat mendengar kabar ini. Jadi mereka enjoy-enjoy aja. Bekerja ke sawah, mengadakan pengajian, silaturahmi dan sebagainya.

Hingga akhirnya, kabar itu menyeruap juga ke desa-desa.

Namanya warga, mereka tak ambil bingung, karena keyakinan mereka sangat kuat. Berlandaskan bahwa "Segala penyakit pasti ada obatnya, matipun ada yang mengatur, masak kita takut pada apa itu corona," celoteh mereka.

Hari-hari pun berlalu. Tetap saja mereka mengindahkan berbagai peraturan yang dibuat pemerintah. Maklum saja, ada yang punya TV ada pula yang tidak. Yang punya tv berbicara panjang lebar kalau pemerintah mengintruksikan ini dan itu.
Mereka pun celoteh lagi "Itu kan di kota, corona itu tak akan mempan pada kita, wong kita sudah berjemur setiap hari, memakan sayu- sayuran, makan daun kelor, minum jamu dan sebagainya. Jadi, ya virus itu kecil masak mau menyerang kita yang sudah kebal daya tahan tubuh ini," mereka pun masih ngeyel.

Benar saja, menurut penelitian terbaru, menyatakan bahwa rata-rata yang diserang oleh virus corona adalah mereka yang hidup dikota, jarang berjemur di bawah terik matahari, dan jarang pula olahraga, dilansir dari detik.com.
Beberapa hari ini aturan itu mulai juga berlaku pada masyarakat desa. Soal penggunaan masker ketika keluar daerah, disuruh rajin-rajin cuci tangan-pemerintah desa menyiapkan sarana cuci tangan di titik-titik penting, memakai hand sanitizier, rumah-rumah mereka di semprot disinfektan.

Ini tidak menjadi masalah serius bagi mereka. Masalah serius itu adalah ekonomi.
Fokus lagi ekonomi. Anak-anak sudah hampir satu bulan-an berada di rumah. Belajarnya pun di rumah. Maka, tak ayal setiap hari setiap waktu pasti mereka meminta uang jajan. Inilah yang membuat serius kepala keluarga, suami.
Mengapa berdampak serius, karena ada larangan mereka tak boleh keluar. Titik. Sedangkan mayoritas warag desa bukan hanya petani. Tapi juga para buruh, kuli bangunan yang notabene bekerja di luar daerah.
Pekerjaan petani mereka anggap hanyalah sampingan belaka, karena untuk memanen padi dibutuhkan waktu sekitar tiga bulanan. Dalam waktu tiga bulanan tersebut mereka harus mencari pekerjaan sampingan demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Sesuatu lain yang membuat warga desa adalah penerapan social discanting. Karena beberapa toko ataupun pengasong banyak yang tutup.
Sebut saja petani sawah yang bakal menjual padinya pada si pengasong, sekarang pengasong pada tutup.
Petani cabai, di desa biasanya ada beberapa orang pengasong yang akan menerima penjualan cabai, sekarang banyak yang tutup juga.
Ini mungkin ironi, kalau terus-terusan di rumah, si istri pasti ngomel-ngomel. Sebab, katanya anak-anak mau makan apa.
Biasanya lagi penduduk desa kebanyakan yang miskin, memasrahkan hidupnya dari koperasi simpan pinjam. Kenapa bisa begitu.
Penghasilan mereka rata-rata hanya lima puluh ribu atau bahkan kurang. Jika di asumsikan untuk membeli beras mereka habis berapa, jajan anak-anak perhari berapa. Nah, ketika ada kebutuhan mendadak maka koperasi simpan pinjam ini yang jadi andalan. Kalau bahasa disini mereka menyebut bank harian.
Sebab, dari jumlah pinjamana yang lumayan besar berkisar satu jutaan, mereka pun menganggap cukup. Apalagi sistemnya bayar cicilan. Sekaranga bank harian itu tak nongol lagi.
Lantas, apa langkah selanjutnya untuk memantapkan ekonomi warga desa yang sekarang terpuruk?

Monggo kita diskusi
Salam hangat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun