Belakangan ini, saya sering tersenyum sendiri saat melihat video atau foto manasik haji anak-anak yang ramai beredar di media sosial. Pemandangan anak-anak kecil dengan pakaian ihram mini, berlari riang mengelilingi replika Ka'bah, atau semangat melempar bola busa ke tiang jumrah sungguh menggemaskan. Ada rasa haru, bangga, sekaligus kagum melihat antusiasme mereka.
Namun di balik semua kelucuan dan niat baik itu, muncul satu pertanyaan yang belakangan ini sering terlintas di benak saya: sejauh mana kegiatan ini benar-benar menyentuh pemahaman dan kesadaran spiritual anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan dini? Apakah manasik ini benar-benar sesuai dengan kapasitas kognitif mereka, atau hanya sekadar simbolis belaka? Pertanyaan ini rasanya layak kita renungkan bersama, tanpa prasangka atau penghakiman.
Niat Mulia di Baliknya: Menanam Benih Iman Sejak Kecil
Tidak diragukan lagi, manasik haji anak-anak lahir dari niat yang sangat baik. Sebagai orang tua, pendidik, atau bagian dari komunitas Muslim, kita tentu ingin mengenalkan anak pada ibadah haji sejak dini, berharap mereka tumbuh dengan kecintaan pada rukun Islam yang satu ini.
Kegiatan ini juga kerap dipandang sebagai bentuk gladi bersih, sebuah persiapan dini agar kelak saat dewasa, mereka sudah familiar dengan tata cara haji dan lebih siap secara mental dan spiritual. Di sisi lain, manasik juga mengandung unsur pendidikan karakter: mengajarkan disiplin, kesabaran, kerja sama dalam kelompok, hingga kepatuhan terhadap instruksi.
Anak-anak belajar mengikuti urutan prosesi, mendengarkan arahan pembimbing, dan berinteraksi dalam suasana yang menyerupai kebersamaan saat berhaji. Ini tentu hal positif, terutama jika dikemas menyenangkan. Harapannya, mereka tumbuh dengan pandangan bahwa ibadah adalah aktivitas yang penuh makna dan bisa dinikmati, bukan sekadar kewajiban.
Realita Kognitif: Mampukah Anak Memahami Maknanya?
Namun mari kita jujur---di usia prasekolah atau awal SD, kemampuan anak dalam memahami konsep spiritual masih sangat terbatas. Dunia mereka masih sangat konkret. Sementara, nilai-nilai di balik haji---seperti ketauhidan, kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, atau makna tawaf dan sai---adalah hal-hal yang abstrak dan kompleks.
Bagi sebagian anak, manasik mungkin terasa seperti bermain peran atau cosplay. Ada kekhawatiran, jika kegiatan ini tidak dikemas sesuai usia, justru menimbulkan kebosanan atau kesan negatif terhadap ibadah. Alih-alih menumbuhkan cinta pada haji, bisa saja yang tertinggal hanyalah kelelahan fisik atau pengalaman yang tak bermakna.
Belum lagi soal prioritas pendidikan. Di usia ini, banyak hal mendasar yang juga perlu ditanamkan: mengenal Allah secara sederhana, membiasakan akhlak baik, serta mulai belajar Al-Qur'an. Apakah manasik sudah proporsional dibandingkan kebutuhan-kebutuhan dasar itu?
Aspek lain yang tak kalah penting adalah potensi komersialisasi. Tidak sedikit kegiatan manasik menjadi bagian dari paket acara sekolah yang penuh biaya. Di sini, kita perlu jujur: apakah esensi edukatif tetap menjadi fokus utama, atau sudah bergeser menjadi acara yang sekadar meriah dan menguntungkan secara finansial?