Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Copywriter yang tertarik pada isu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat | Humas Al Irsyad Purwokerto | Redaktur Suara Al Irsyad

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Manasik Haji Anak: Menggemaskan, tapi Efektifkah di Usia Dini?

21 Mei 2025   15:08 Diperbarui: 22 Mei 2025   17:16 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: berdoa di depan Ka'bah. (Sumber: shutterstock via kompas.com)

Belakangan ini, saya sering tersenyum sendiri saat melihat video atau foto manasik haji anak-anak yang ramai beredar di media sosial. Pemandangan anak-anak kecil dengan pakaian ihram mini, berlari riang mengelilingi replika Ka'bah, atau semangat melempar bola busa ke tiang jumrah sungguh menggemaskan. Ada rasa haru, bangga, sekaligus kagum melihat antusiasme mereka.

Namun di balik semua kelucuan dan niat baik itu, muncul satu pertanyaan yang belakangan ini sering terlintas di benak saya: sejauh mana kegiatan ini benar-benar menyentuh pemahaman dan kesadaran spiritual anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan dini? Apakah manasik ini benar-benar sesuai dengan kapasitas kognitif mereka, atau hanya sekadar simbolis belaka? Pertanyaan ini rasanya layak kita renungkan bersama, tanpa prasangka atau penghakiman.

Niat Mulia di Baliknya: Menanam Benih Iman Sejak Kecil

Tidak diragukan lagi, manasik haji anak-anak lahir dari niat yang sangat baik. Sebagai orang tua, pendidik, atau bagian dari komunitas Muslim, kita tentu ingin mengenalkan anak pada ibadah haji sejak dini, berharap mereka tumbuh dengan kecintaan pada rukun Islam yang satu ini.

Kegiatan ini juga kerap dipandang sebagai bentuk gladi bersih, sebuah persiapan dini agar kelak saat dewasa, mereka sudah familiar dengan tata cara haji dan lebih siap secara mental dan spiritual. Di sisi lain, manasik juga mengandung unsur pendidikan karakter: mengajarkan disiplin, kesabaran, kerja sama dalam kelompok, hingga kepatuhan terhadap instruksi.

Anak-anak belajar mengikuti urutan prosesi, mendengarkan arahan pembimbing, dan berinteraksi dalam suasana yang menyerupai kebersamaan saat berhaji. Ini tentu hal positif, terutama jika dikemas menyenangkan. Harapannya, mereka tumbuh dengan pandangan bahwa ibadah adalah aktivitas yang penuh makna dan bisa dinikmati, bukan sekadar kewajiban.

Realita Kognitif: Mampukah Anak Memahami Maknanya?

Namun mari kita jujur---di usia prasekolah atau awal SD, kemampuan anak dalam memahami konsep spiritual masih sangat terbatas. Dunia mereka masih sangat konkret. Sementara, nilai-nilai di balik haji---seperti ketauhidan, kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Siti Hajar, atau makna tawaf dan sai---adalah hal-hal yang abstrak dan kompleks.

Bagi sebagian anak, manasik mungkin terasa seperti bermain peran atau cosplay. Ada kekhawatiran, jika kegiatan ini tidak dikemas sesuai usia, justru menimbulkan kebosanan atau kesan negatif terhadap ibadah. Alih-alih menumbuhkan cinta pada haji, bisa saja yang tertinggal hanyalah kelelahan fisik atau pengalaman yang tak bermakna.

Belum lagi soal prioritas pendidikan. Di usia ini, banyak hal mendasar yang juga perlu ditanamkan: mengenal Allah secara sederhana, membiasakan akhlak baik, serta mulai belajar Al-Qur'an. Apakah manasik sudah proporsional dibandingkan kebutuhan-kebutuhan dasar itu?

Aspek lain yang tak kalah penting adalah potensi komersialisasi. Tidak sedikit kegiatan manasik menjadi bagian dari paket acara sekolah yang penuh biaya. Di sini, kita perlu jujur: apakah esensi edukatif tetap menjadi fokus utama, atau sudah bergeser menjadi acara yang sekadar meriah dan menguntungkan secara finansial?

Anak-anak PAUD bersama gurunya mengikuti manasik haji (Sumber: tribunmuria.com/saiful masum)
Anak-anak PAUD bersama gurunya mengikuti manasik haji (Sumber: tribunmuria.com/saiful masum)

Solusi Bijak: Membuat Manasik Anak Lebih Bermakna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun