Belakangan ini, saya banyak merenung tentang wacana pembinaan anak nakal dengan cara dibawa ke barak militer. Ini bukan isu baru, tapi kembali muncul di tengah kekhawatiran kita terhadap perilaku remaja yang dianggap makin sulit dikendalikan.Â
Sedangkan di satu sisi, saya memahami niat baiknya: menciptakan generasi muda yang lebih disiplin. Namun di sisi lain, saya juga percaya bahwa pendekatan seperti ini tidak bisa diberlakukan secara menyamaratakan.
Saya ingin mengajak kita semua berhenti sejenak dan berpikir: benarkah semua anak nakal harus dibawa ke barak?
Label "Nakal" Bisa Jadi Menyakitkan
Sering kali, kita terlalu cepat memberi cap "nakal" kepada anak-anak. Hanya karena mereka membantah guru, sulit diatur, atau bolos sekolah, mereka langsung dianggap sebagai pembuat masalah. Padahal, bisa jadi mereka hanya sedang bingung, butuh perhatian, atau mengalami tekanan dari rumah dan lingkungan.
Perilaku "nakal" tidak selalu lahir dari niat buruk. Justru, itu bisa menjadi isyarat bahwa anak sedang berjuang dalam diam. Maka daripada langsung menyimpulkan mereka perlu "diperkeras", sebaiknya kita gali dulu apa yang sebenarnya mereka alami.
Siapa yang Mungkin Cocok Dibina di Barak?
Saya tidak menutup mata bahwa ada anak-anak yang memang sulit ditangani. Mereka yang sudah berulang kali melanggar aturan, terlibat kelompok destruktif seperti tawuran atau geng motor, bahkan menunjukkan perilaku agresif yang membahayakan.
Jika pendekatan pembinaan ala barak tetap dipertimbangkan, maka harus ada klasifikasi yang ketat dan asesmen menyeluruh. Anak tersebut sebaiknya:
1. Telah melalui berbagai pendekatan konseling sebelumnya, namun tanpa hasil.
2. Membutuhkan struktur yang sangat tegas untuk membantu mengontrol diri.
3. Mendapat persetujuan dari orang tua dan ahli psikologi anak.