Pada tahun 1999, saya bersama teman-teman menggelar sebuah kegiatan pendakian yang melibatkan ratusan peserta dari berbagai daerah di sekitar Gunung Slamet.Â
Kegiatan ini berlangsung selama dua hari dua malam, dengan tema "Bersih Gunung." Kami, para pemuda pencinta alam, berupaya mengampanyekan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian jalur pendakian yang sering tercemar oleh sampah dan kerusakan lingkungan akibat ketidaktahuan para pendaki.Â
Meskipun berat, kegiatan ini memberikan kepuasan mendalam, dan kami merasa bahwa kami sedang berbuat untuk tujuan yang lebih besar.
Namun, ada satu momen yang sangat mengesankan dalam perjalanan ini—sebuah momen yang mengingatkan saya tentang pentingnya kesopanan, penghormatan, dan kebersamaan yang mulai luntur dalam kehidupan sehari-hari kita.
Petang itu, ketika seluruh peserta dan panitia sudah kembali ke rumah masing-masing, hanya tersisa kami, panitia inti, yang masih bertahan di basecamp.Â
Kegiatan yang penuh tantangan ini memang menyisakan kelelahan, namun kami tetap bertahan untuk memastikan semuanya selesai dengan baik. Saat itu, seorang ibu renta—yang biasa kami panggil "mbah"—datang bersama cucunya, membawa secerek teh tawar panas.
Hal ini sangat mengejutkan. Selama dua hari sebelumnya, mbah selalu menyajikan kopi secara sukarela untuk kami, para panitia, yang memang sudah berjuang keras menjalankan kegiatan tersebut.Â
Tetapi kali ini, dia membawa teh. Saat saya bertanya, "Mengapa teh, mbah?" dia dengan tenang menjawab, "Karena seharusnya tamu disambut dengan teh panas."
Awalnya, saya tidak benar-benar mengerti apa maksudnya. Namun, cucunya kemudian menjelaskan bahwa panitia inti dianggap sebagai tamu, sedangkan peserta dan panitia lainnya adalah sekadar pengunjung.Â
Bagi mbah, kami adalah mereka yang dianggap layak dihormati karena telah berjuang untuk tujuan yang lebih besar, yakni menjaga kebersihan dan kelestarian alam di Gunung Slamet.