Mohon tunggu...
ummu ahmad
ummu ahmad Mohon Tunggu... -

untuk berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Homeschooling (bagian 1)

3 Juni 2015   10:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:23 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Homeschooling, atau yang biasa disingkat dengan HS.
Kalau dilihat artinya, bisa diterjemahkan bahwa home=rumah, school=sekolah.
Tapi jangan langsung diartikan sekolah yang dilakukan di rumah, anak dikurung dirumah pada saat jam pelajaran, jam 7 sampai dengan jam 14 misalnya. Jangan pula langsung diartikan bahwa anak duduk manis di rumah, dan orang tua mengundang seorang guru privat untuk datang ke rumah kemudian memberikan pelajaran-pelajaran kepada anak. Bukan seperti itu makna homeschooling, kalau seperti itu ya sama saja dengan memindah sekolah ke rumah.

Sebelum berbicara lebih lanjut tentang homeschooling, mari kita tengok bersama bagaimana kondisi sekolah-sekolah formal di Negara kita.
Di sekolah formal, anak dibiasakan untuk berangkat ke sekolah pada pukul 7 pagi dan pulang ada sampai pkl 14. Bias dihitung, berapa lama waktu yang dihabiskan oleh anak-anak untuk berada di lingkungan sebuah gedung yang bernama sekolah.
Hari Senin-Sabtu. Begitu terus rutinitas yang terjadi, selama bertahun-tahun hingga anak lulus sekolah formal.
Tak cukup sampai di situ, sepulang sekolah kadang anak-anak masih disibukkan dengan seabrek PR yang harus dikerjakan di rumah, kadang ada pula anak yang harus menambah jam belajar dengan mengikuti les ini dan les itu.

Kembali melihat fenomena sekolah formal di negeri ini, anak-anak akan dipukul rata dalam menerima target materi yang harus mereka pelajari, padahal setiap anak memiliki potensinya masing-masing, sangat tak bijak jika anak harus dipaksa menerima sesuatu yang tak dibutuhkan olehnya.
Sekolah formal yang seolah hanya formalitas belaka, ketika mereka duduk rapi di dalam kelas, dan kemudian guru akan mendatangi mereka. Guru akan memberitahukan kepada mereka banyak hal. Tentang ini dan tentang itu…bla..bla… seolah mengejar target selesainya kurikulum yang telah dibebankan.
Misalnya, aka nada guru yang memberikan soal, makan dan minum itu dengan tangan…..
Anak akan mampu menjawab tangan kanan.
Cukup hanya dengan menjawab itu, sang anak akan mendapat nilai A.
Dan proses pembelajaran hanya akan berhenti sampai disitu, berhenti di atas selembar kertas ujian, akan menguap dan dilupakan begitu ujian berakhir dan nilai formalitas telah berada di dalam genggaman tangan.
Begitu mereka dihadapkan pada kenyataan, mereka tak malu bahkan tak merasa bersalah jika mereka makan dengan tangan kiri, sambil berdiri, bahkan sambil berjalan.
Sesungguhnya pendidikan itu adalah perbaikan karakter, perbaikan akhlak, bukan sekedar mencetak ijazah bertuliskan deretan nilai.
Terlepas dari lmu yang tak diamalkan, ilmu yang berhenti di atas selembar kertas bernama ijazah, di dalam pendidikan formal di negeri ini, masih dapat dijumpai banyak penyimpangan.
Misalnya pada pelajaran biologi, anak akan diajari tentang teori evolusi Darwin, bahwa manusia awalnya adalah kera yang berkembang hingga akhirnya berubah menjadi manusia seperti sekarang.
Relakah kita jika anak-anak kita nanti mendapat racun seperti itu?
Anak-anak masih bersih, mereka masih mudah menerima apapun yang disampaikan keapada mereka.
Hal pertama yang harus dikenalkan pada anak-anak adalah tentang Allah, tentang tauhid, tentang islam, dan tentang segala kebenaran berdasarkan petunjuk Al Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW berdasarkan pemahaman para salafus sholih.
Bagaimana bias kita mengajarkan kepada anak-anak bahwa manusia itu berasal dari kera? Jika Allah telah mengajarkan kepada kita bahwa manusia yang diciptakan oleh Allah adalah Nabi Adam. Allah menciptakan manusia dari tanah, Allah tak pernah mengajarkan kepada kita bahwa manusia diciptakan dari kera.
Lalu jalan manakah yang akan kita tempuh?
Kita akan memilih petunjuk dari Allah atau memilih teori Darwin?
Selain itu, di sekolah formal di negeri ini, kita akan mudah menjumpai anak laki-laki dan perempuan berkumpul dalam satu ruangan bernama ruang kelas, tidak hanya pada anak TK atau SD, namun hingga SMA. Bahkan tak jarang kita jumpai mereka akan duduk berdua di satu bangku.
Seorang anak perempuan dikatakan telah baligh apabila dia telah mengalami haid, kebanyakan anak sekarang mengalami masa haid saat kelas 6 SD. Anak-anak laki-laki dikatakan baligh apabila telah mengalami mimpi basah, biasanya saat duduk di bangku SMP.
Dalam Islam tak ada istilah tanggung, tak ad istilah remaja, apalagi remaja tanggung.
Yang ada hanya anak-anak dan baligh. Seseorang yang telah baligh, maka berlakulah semua hukum syariat untuk orang baligh.
Allah telah memerinahkan kita untuk saling menundukkan padangan, menutup aurot, dan bagi wanita dilarang tabaruj (menampakkan perhiasan dan kecantikan di depan pria non mahromnya).
Sementara di sekolah formal kita akan mendapati, saat tanggal 21 April, orang-orang menyebutnya hari kartini. Pihak sekolah akan menyuruh siswa siswi dengan dalih nasionalsime, cinta tanah air, menghormati jasa kartini, dengan berdandan memakai pakaian adat daerah. Dalih melestarikan kebaya, anak perempuan akan memakai jarik, kebaya yang ketat dan transparan, menyanggul rambut (padahal terlaknatlah wanita yang menyambung rambutnya), memakai bulu mata palsu, mengerik alis, memakai make up, tampil cantik. Padahal kita telah tahu bahwa Allah melarang semua itu, lalu kapan kita akan mengajarkan putrid-putri kita untuk tidak tabaruj, untuk mematuhi sunnah Rasul, jika ternyata kita malah membiarkan sebuah system yang berlindung di balik nama peraturan sekolah untuk menyuruh putrid-putri kita berbuat maksiat.
Sementara di pihak siswa putra, bagaimana kita akan melatihnya untuk menundukkan pandangannya jika ternyata kita malah mengirimkannya ke suatu tempat yang bernama sekolah. Yang dengan dalih melestraikan pakaian adat daerah, mereka menyuguhkan kecantikan murid putrid di depan mata murid putra.
Lalu kapan pula kita akan mengajarkan batasan pergaulan dengan lawan jenis apabila kita membiarkan anak-anak untuk jalan berdampingan antara putra dan putrid setelah kita menghias mereka sedemikian rupa.
Pendidikan adalah proses pembiasaan, tidak sekedar jawaban apa yang ditulis oleh anak-anak di atas kertas ujian, dan kita akan merasa telah menunaikan tugas mendidik anak-anak ketika kita telah menerima selembar kertas bernama ijazah yang berisi deretan nilai yang memuaskan. Padahal kenyataannya sangat sedikit sekali bahkan kadang tak ada perubahan akhlak tak ada perubahan karakter sama sekali pada diri anak-anak kita.
Di sekolah formal di negeri kita, atas nama pendidikan kewarganegaraan, para guru akan mengajarkan bahwa semua agama adalah sama.
Padahal Allah dengan tegas telah menyampaikan bahwa agama yang benar hanyalah Islam, selain islam mka tertolaklah semua amalan.
Bagaiman mungkin kita rela mengirimkan anaka-anak ke tempat bernama sekolah, jika di dalamnya anak-anak kita malah mengalami pembengkokan akidah, perusakan keimanan. Lalu iman mana yang akan kita pilih? Mana yang akan kita percaya? Allah yang telah mengatakan bahwa agama yang benar hanyalah Islam, ataukah para guru yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama?
Jalan mana yang akan kita pilih, jika kita tahu bahwa anak adalah investasi, bukan sekedar investasi dunia seperti halnya rumah, tanah, mobil, perusahaan, yang semuanya itu tak akan kita bawa ke liang kubur. Anak adalah investasi akhirat, yang apabila kita benar dalam mendidiknya, maka pahalanya akan terus mengalir meskipun kita telah meninggalkan dunia ini.

Bukan bermaksud menjelekkan sekolah formal, tapi memang seperti itulah kenyataan yang bisa dengan mudah kita temui di lingkungan sekolah formal di negeri kita.
Sementara waktu terus berjalan, bnyak hal yang harus kita tentukan.

Kembali ke pokok bahasan Homeschooling, dalam homeschooling anak tak sekedar duduk manis dan terkurung utuk belajar di rumah.
Dengan homeschooling, anak-anak akan mendapat kesempatan belajar di mana saja, di tempat yang lebih luas, tak terbatas tembok kelas, tak terbatas pagar sekolah, tak terbatas menunggu ilmu yang dibawakan oleh guru, tak terbatas hanya bermain dengan anak seusianya saja.
Telah terlalu banyak artikel, tulisan, talkshow, dan pakar yang telah membahas mitos-mitos seputar homeschooling. Kita dapat menemukannya dengan mudah bertebaran di internet jika kita mau menyisihkan sedikit saja waktu kita untuk mencarinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun