Mohon tunggu...
Qodry Al Azizy
Qodry Al Azizy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa - Ketua Dewan Racana Syekh Nurjati Pramuka IAIN Syekh Nurjati Cirebon

Menulis adalah cara saya memaksa diri untuk menjadi terpelajar. Enjoy!!!

Selanjutnya

Tutup

Diary

Payung-Payung Renung

4 April 2023   23:25 Diperbarui: 4 April 2023   23:34 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Maha Besar Tuhan, diturunkannya hujan deras di atas bumi Cirebon yang panas lagi gersang dengan sekehendak-Nya. Hujan yang darinya tumbuh pepohonan rimbun dan bunga-bunga yang indah mempesona. Semerbak petrichor menyesaki rongga hidung, menjalar melalui saraf olfaktori hingga ke otak, menghasilkan emosi positif bagi setiap yang merasakannya.

Petak-petak ubin pelataran Masjid Raya At-Taqwa disiram secara merata, menghilangkan serapah orang yang biasanya kepanasan tiap kali menjejakinya dengan kaki telanjang, utamanya saat musim panas. Namun, permasalahan baru pun muncul, licin. Beberapa orang sempat menjadi korbannya, terpeleset dan jatuh dengan keras, wajahnya meringis kesakitan.

Dari kejauhan, segerombolan anak datang berlarian, canda tawa dan baju compang-camping menjadi paduan yang rumit ditafsirkan, tak pernah kulihat pemandangan seperti ini sebelumnya.  Ditentengnya payung ditangan masing-masing, tapi kenapa tidak digunakan? Hanya ditenteng begitu saja. Mereka seolah sedang berlomba lari dengan batas suci Masjid sebagai garis finish nya. Pikiranku belum memahami akan maksud dari semua yang sedang ku saksikan saat ini.

Beberapa waktu berselang, dibuka nya payung tersebut, dihampirinya orang-orang yang keluar dari mobil, dan diantarkan hingga masuk ke dalam Masjid, berteduh.

Kemudian si tuan dan nyonya yang diantar tersebut merogoh-rogoh kantong, membuka tas dan mengeluarkan selembar atau beberapa keping uang, diberikannya pada anak yang mengantarkan tersebut. Demikian hal ini berulang-ulang terjadi, hingga hujan benar-benar reda.

Aku belum pernah menemukan hal seperti ini sebelumnya, khususnya di tempat asalku. Dengan tanpa disadari, dari penglihatan di ujung sana pesan tersebut sampai hingga ke dalam hati dan otak, menghasilkan getaran-getaran hebat.

Tampak dengan jelas, kerasnya dunia ternyata bisa juga disambut dengan senyum sumringah, dengan sembari berselancar di atas ubin masjid, tertawa menikmati hujan yang semakin deras. Memang, faktanya mereka kekurangan secara finansial, tetapi saya rasa mereka tetap tak kekurangan guratan senyum dan cara-cara indah dalam menikmati hidup, khususnya pada saat itu. Mereka menjadi pemenang dari situasi yang seringkali dipisuhi orang-orang, hujan.

Mereka mampu mengelola sumpah-serapah orang-orang menjadi canda tawa, bahkan pundi-pundi rupiah. Meskipun awalnya aku rasa hal ini tidak adil bagi mereka, aku pikir semesta sudah merenggut kebahagiaan masa kecil mereka dengan mengharuskannya mencari uang dengan cara-cara yang seperti demikian. Namun, aku temui bahwa aku lah yang tidak diberikan ketidakadilan dalam hal ini, mereka bisa menikmatinya sedangkan aku tidak, keparat memang.

"Ahhh, beginikah cara dunia bekerja?"

Batinku sembari membuka pintu untuk kemudian melengang dengan berlarian ke arah hujan deras turun, mengambil keadilan yang harus juga aku rasakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun