Mohon tunggu...
Qnanti Putri
Qnanti Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hello

Penulis amatir ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal

8 Juni 2021   09:53 Diperbarui: 8 Juni 2021   12:31 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore ini langit tampak kelabu. Terdengar suara gemuruh yang seolah saling bersahutan. Hujan gerimis mulai turun tapi Sari masih terlihat nyaman di samping makam bapaknya yang meninggal siang ini. Sari tidak terdengar menangis, mungkin karena ia mulai bisa tabah atau mungkin air matanya sudah habis.

"Sari ayo pulang, udah mau hujan," Aku membujuknya untuk pulang, tapi Sari masih enggan untuk beranjak dari samping makam, padahal sudah hampir 3 jam ia duduk di sana.

Hujan akhirnya mulai membesar, air yang bercampur tanah kuburan mulai mengotori sepatuku. "Ayo Sari, aku ga bawa payung," Aku coba membujuknya sekali lagi, akhirnya Sari pun bangun dari duduknya. Ia perlahan pergi sambil terus menghela nafas panjang.

Selagi berteduh di sebuah masjid, Sari berbicara kepadaku, "Laras aku menyesal," Katanya singkat, dia sedikit berkaca-kaca.

"Menyesal kenapa?" Kataku sambil menepuk bahunya. Tapi ia tidak menjawab lagi, "Udah Sar, kamu harus bisa tabah. Doakan saja bapakmu semoga ia mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan ya," Aku coba menguatkannya, Sari hanya mengangguk.

Satu jam berlalu, hujan masih terlihat deras. Ruangan masjid yang kosong dan hening melebur dengan suara hujan di luar. Sari terlihat melamun. Betapa ia sangat kehilangan sosok bapaknya itu. Sebenarnya aku paham apa yang Sari maksud saat ia bilang ia menyesal. 

Sari tidak pernah datang selama bapaknya sakit sejak 2 bulan lalu. Ia sibuk dengan pekerjaannya di luar kota. Bukan keinginan Sari untuk bekerja, ia melakukannya dengan terpaksa karena bapaknya tidak mampu lagi membiayai perkuliahannya, dan akhirnya Sari harus memutus perkuliahannya di tengah jalan. Ia kerap mencurahkan segala kekesalannya kepadaku, tentang lelahnya ia bekerja sampai tentang kekecewaannya terhadap bapaknya.

Memang cerita Sari sangat menyedihkan, tak bisa aku bayangkan bagaimana jadinya jika aku berada di posisi Sari. Namun yang Sari sesali mungkin adalah karena ia tidak dapat bersyukur dengan kondisi bapaknya yang ternyata hingga akhir hayatnya ia terus menabung untuk dapat kembali menyekolahkan Sari di perguruan tinggi. 

Sari baru mengetahui hal itu hari ini, ketika ia mendengar bahwa bapaknya telah tiada dan pulang ke rumahnya setelah sekian lama, ia melihat sepuluh celengan plastik di kamar bapaknya yang penuh dengan uang recehan. Di atasnya tertulis "Untuk kuliah Sari". 

Aku dapat membayangkan bagaimana terpukulnya Sari, selain karena ia tidak sempat melihat wajah bapaknya untuk terakhir kali sebelum di kebumikan, penyesalan itu juga tumbuh dari penyesalan yang sudah mengerak di hati Sari sejak lama. Tentang bagaimana ia bisa sekesal itu pada bapaknya dan memutuskan untuk pergi ke luar kota.

Langit sudah tampak gelap, aku dan Sari memutuskan untuk pulang seiring hujan yang perlahan mereda. Di perjalanan Sari bercerita kepadaku tentang segala penyesalannya. Ia juga bercerita tentang dia dan masa kecilnya bersama sang bapak. "Bodoh ya aku, padahal kalau di ingat, waktu aku kecil bapak selalu mengabulkan segala keinginanku."

Sambil sedikit tersenyum Sari menceritakan kisahnya, dan aku hanya menyimak. "Aku ingat saat aku merajuk ingin dibelikan eskrim, dan saat itu uang bapak tidak cukup. Tapi ternyata keesokan harinya bapak membelikan aku eskrim, padahal aku sendiri sudah lupa" Sari terus menceritakan tentang masa kecilnya selama di perjalanan. "Iya Sari, yang namanya bapak memang begitu. Kadang kita merasa dia tidak pernah peduli, padahal setiap malam mereka kelelahan karena harus mencari nafkah", "Iya.. Huh.." Sari kembali menghela nafas, namun kini ia terlihat sedikit lebih tenang. Apa yang terjadi selalu bisa menjadi pelajaran.

Cerita Sari juga sangat berarti bagiku. Aku pun tak jauh bedanya dengan Sari, terkadang marah dan tidak bersyukur dengan kondisi orang tua, padahal mereka sudah bersusah payah membesarkan anaknya hingga rela mengorbankan segalanya. Mungkin tidak terlihat langsung didepan mata, namun setiap malam mereka kelelahan. 

"Sesal dahulu yang bertuah, sesal kemudian yang celaka" Begitulah kata pepatah, aku bersyukur karena orang tuaku masih utuh. Selagi mereka ada di dunia, aku akan lebih berbakti lagi kepada mereka, bagaimanapun kondisi dan kekurangan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun