Mohon tunggu...
Qalby aulia
Qalby aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Nikah Siri dalam Pandangan Sosiologi Hukum

12 November 2022   23:12 Diperbarui: 12 November 2022   23:54 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah perkawinan dibawah tangan muncul setelah diberlakukannya secara efektif UU Perkawinan pada tahun 1974. Perkawinan dibawah tangan yang disebut juga sebagai perkawinan liar karena perkawinannya dilaksanakan diluar pengawasan pemerintah atau perkawinan yang dilakukan diluar ketentuan hukum perkawinan yang berlaku secara positif di Indonesia.

Meskipun demikian, tidak semua perkawinan yang dilakukan secara sirri/dibawah tangan merupakan perkawinan yang tidak sah.

Nikah siri mengemuka setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah seperti ini pada dasarnya adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum.

Sedangkan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam UndangUndang Perkawinan. Oleh karena itu, dapat dirumuskan, bahwa nikah siri adalah nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum.

Hukum nikah siri secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah siri digelar. Pada prinsipnya, selama nikah siri itu memenuhi rukun dan syarat nikah yang disepakati ulama, maka dapat dipastikan hukum nikah itu sudah sah. 

Berikut ini beberapa pendapat para ulama Islam tentang nikahsiri.Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Masyarakat Melakukan Nikah Sirri
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya nikah sirri adalah sebagai berikut.

        Faktor ekonomi

Faktor ekonomi diantaranya karena biaya administrasi pencatatan nikah, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi. 

Ada keluhan dari masyarakat bahwa biaya pencatatan pernikahan di KUA tidak transparan, berapa biaya sesungguhnya secara normatif. Oleh karena dalam praktik masyarakat yang melakukan perkawinan, di kenai biaya yang beragam.

Adanya kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bahwa seorang mempelai laki-laki selain ada kewajiban membayar mahar, juga harus menanggung biaya pesta perkawinan yang cukup besar (meskipun hal ini terjadi menurut adat kebiasaan).

Di daerah Sulawesi Selatan tepatnya suku bugis selain mahar ada juga Uang panai yang bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan, alasan ini pula yang menjadi penyebab laki-laki yang ekonominya belum mapan lebih memilih menikah dengan cara diam-diam, yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta seperti umumnya pernikahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun