Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dilema PPKM: Antara Makro Ekonomi dan Stabilitas Akar Rumput

16 Juli 2021   13:52 Diperbarui: 16 Juli 2021   14:24 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Serangan Covid-19 varian delta membuat sejumlah negara yang sebelumnya mengklaim telah berhasil mengatasi pandemi, kini berjibaku lagi melakukan aksi-aksi penanggulangan dan antisipasi. PM Belanda beberapa hari lalu meminta maaf kepada warganya karena terlalu cepat memberikan pelonggaran. Dia meminta maaf atas peningkatan kembali kasus infeksi harian di negeri kincir angin tersebut. Korea Selatan juga kini melakukan lagi pembatasan aktivitas warganya. Jepangpun demikian, bahkan Olimpiade Tokyo yang tertunda tahun lalu akan dilangsungkan tanpa penonton tahun ini. Maka Indonesia tidak sendirian merasakan ganasnya serangan varian delta tersebut.

Kabar baiknya, pasar finansial tidak panik ketika varian baru tersebut terdeteksi telah masuk ke Indonesia. Aset-aset finansial terpantau relatif stabil, sangat berbeda dengan kondisi di masa awal terdekteksinya kasus infeksi covid-19 di Indonesia pada Maret tahun lalu yang memicu kepanikan luar biasa.

Sekarang belum terilihat ada reaksi signifikan pemindahan aset investasi ke luar. Investor luar negeri masih merasa aman membiarkan uangnya tetap berada di negeri ini. Tetapi di tingkat akar rumput, semakin terasa kepanikan bahkan kemarahan pelaku ekonomi mikro semakin meninggi sejak pemberlakuan PPKM lebih seminggu lalu.

Dalam beberapa hari ini kita disuguhi rekaman para pedagang yang secara terang-terangan menentang petugas saat berusaha menertipkan pelaksaan PPKM. Seorang bapak muda mengulurkan tangannya ke polisi dan menyatakan pasrah ditangkap karena tidak sudi menutup usaha demi membiayai hidup keluarganya.

Pada rekaman lain tampak seseorang berdebat panjang dengan petugas, meminta pemerintah mengembalikan uang sewa gedung (tempat usaha warkopnya) jika memang ingin membatasi jam operasional usahanya. Sekali lagi dia menggunakan alasan biaya hidup anak istri untuk terus berdagang (menolak pelaksanaan PPKM). Masih banyak vidio, potongan berita atau postingan media sosial berseliweran yang menunjukkan upaya semakin terang-terangan dari sejumlah warga melawan pembatasan akivitas.

Narasi yang dibangun melalui penyebaran konten-konten tersebut: pemerintah hanya  melakukan pembatasan, tanpa memberi solusi atas hilangnya mata pencaharian masyarakat kecil. Dalam kaitan ini, kelompok masyarakat yang relatif lebih terdidik kemudian mengkritik langkah pemerintah yang lebih memilih PPKM untuk menghindari kewajiban menanggung biaya hidup seluruh warga jika melaksanakan lock down.

Dilema antara mengikuti aturan PPKM atau menghidupi keluarga tampak semakin meruncing di akar rumput. Jika tidak ditangani dengan upaya lebih serius, dilema tersebut dapat memperluas distrust masyarakat ke pemerintah dan bisa berujung pada pembangkangan sosial secara lebih luas sehingga akan mempersulit penanganan pandemi.

PPKM tampaknya cukup ampuh memberi keyakinan pada para investor bahwa pandemi di negeri ini ditangani secara terukur tanpa mengorbankan roda ekonomi sebagaimana telah digambarkan di atas. Tapi di tingkat akar rumput, PPKM semakin memperuncing kepanikan dan ketakutan warga akan kebutuhan hidup sehari-hari. Maka kita berhadapan dengan pilihan dilematis: menyelamatkan makro ekonomi atau menciptakan stabilitas di akar rumput agar kondusif dengan upaya-upaya penanganan pandemi.

Dalam situasi darurat, pilihan kedua tentu lebih tepat dijalankan secara moral. Pemerintah mesti lebih serius memberi jaminan sosial kepada warga yang kehilangan rejeki selama PPKM. Pemerintah tidak cukup hanya melihat statistik peningkatan kasus infeksi covid-19 di tengah masyarakat, tetapi juga mesti lebih cermat membaca statistik warga yang berpotensi tak sanggup membayar uang sekolah anaknya, tak sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari dan berbagai potensi kemelaratan lainnya. Jika pemerintah menggunakan dalih anggaran yang minim, rakyat akan bertanya: bukankah proyek-proyek infrastruktur masih terus berjalan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun