Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penanggulangan Covid-19 Semestinya Bersih dari Motif Politik

30 Mei 2021   20:42 Diperbarui: 30 Mei 2021   21:00 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putu Suasta (Dokpri)

Instruksi Presiden AS, Joe Biden, agar CIA merampungkan penyelidikan baru atas asal usul Covid-19 di Wuhan dalam waktu 90 hari, direspon Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan pernyataan keras. Sebagaimana diberitakan cnbc.com (27/05/21) Dr. Mike Ryan, salah satu petinggi WHO, menyatakan bahwa penyelidikan tersebut telah diracuni politik (poisoned by politics). Ryan menyerukan agar pemimpin-pemimpin negara (terutama AS dan EROPA) dapat memisahkan politik dengan sains.

Pernyataan Ryan merujuk pada aspek provokatif dari intruksi Biden yang kembali menghembuskan teori konspirasi lama bahwa Covid-19 lepas dari sebuah laboratorium di Wuhan (China). Dugaan tersebut sesungguhnya telah dibantah melalui rilis hasil penyelidikan WHO pada bulan Maret lalu, mengatakan bahwa sangat tidak mungkin Covid-19 dimulai dari laboratorium. Berdasarkan hasil-hasil penyilidikan kemudian, komunitas Internasional menerima penjelasan yang lebih masuk akal bahwa Covid-19 awalnya ditularkan dari binatang ke manusia. Pandemi Covid-19 kemudian diterima sebagai tragedi bersama dan pelan-pelan seluruh dunia saling mengulurkan tangan, bahu-membahu untuk mengatasinya.

Bahaya Teori Konspirasi

Sekarang seluruh dunia (termasuk Indonesia) sedang berjuang untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap vaksin, sebagai solusi pamungkas untuk meredam laju pandemi. Tantangan terbesar program vaksinanasi adalah kecurigaan masyarakat. Maka intruksi Joe Biden, sebagai salah satu pemimpin dunia yang selalu dalam sorotan media, akan sangat kontra-produktif terhadap upaya-upaya membangun kepercayaan masyarakat terhadap vaksin dan upaya-upaya penanggulangan lainnya.

Berbagai hasil survei menunjukkan, jumlah masyarakat yang menolak vaksin cukup besar. Survei terbaru dari Kemanag mengungkapkan bahwa hanya 54 % umat beragama di Indonesia menyatakan siap divaksin (tribunnews.com 18/05/21). Rendahnya tingkat penerimaan terhadap program vaksinasi dipicu oleh teori-teori konspirasi dan mis-informasi yang memicu sikap saling curiga. Sebagian mempercayai vaksin sebagai upaya zolim penguasa dunia untuk mengontrol dunia, sebagian memandangnya sebagai bisnis negara maju, sebagian mempercayai bahwa vaksin memiliki resiko tinggi terhadap kesehatan dan berbagai mis-informasi lain yang bersumber dari teori-teori konspirasi.

Di media-media sosial kembali bersileweran dengan makin deras berbagai teori konspirasi, disertai dengan aneka mis-informasi tentang vaksin Covid-19 setelah Joe Biden memerintahkan CIA melipatgandakan upaya penyilidikan terhadap laboratorium di Wuhan yang dicurigai sebagai asal usul Covid-19.

Dalam keadaan normal, teori-teori konspirasi bisa saja dianggap tidak negatif, sebagai bagian dari rasa penasaran saintis (scientific quriosity). Tapi dalam masa krisis, teori-teori konspirasi sangat berbahaya. Dapat menggerus kepercayaan publik pada otoritas, sementara penanggualangan krisis mempersyaratkan adanya otoritas sebagai pengambil kebijakan-kebijakan yang akan ditaati bersama.

Penyebaran teori-teori konspirasi yang tak terkontrol bisa mendatangnya bahaya yang nyata. Hal ini semestinya disadari pemerintah, termasuk di Indonesia, sebelum ketidakpercayaan publik berubah menjadi pembangkangan massal. Dalam kaitan itu, pemerintah juga dituntut untuk konsisten dalam membuat kebijakan, lebih pro-aktif melakukan komunikasi dengan masyarakat untuk membendung arus mis-informasi.

Pandemi di Pentas Politik

Tuduhan WHO akan motif politik yang melatari intruksi Joe Biden kiranya tidak berlebihan. Perkembangan pesat kekuatan China dalam geopolitik global dalam beberapa tahun terakhir tentu mengkhawatirkan AS dan sekutu-sekutunya. Akan tetapi cukup disayangkan bahwa pandemi dijadikan sebagai alat politik untuk menekan atau sekurang-kurangnya membangun image bersalah terhadap lawan politik. Pandemi semestinya menyatukan semua kekuatan untuk bekerja sama, bukan saling mencari kesalahan.

Pemerintah Indonesia mesti berani mengambil langkah-langkah tegas untuk membendung upaya-upaya mempolitisir pandemi. Tentu bukan rahasia umum lagi bahwa kebencian rasial mengemuka di Indonesia sejak media-media barat terus menyorot China sebagi negeri asal Covid-19. Hoaks terus ditiupkan bahwa Covid-19 adalah trik bisnis atau strategi politik atau bentuk konspirasi jahat lainnya yang dicetuskan oleh negara tertentu. Masifnya penyebaran berita-berita tak mendasar tersebut mengindikasikan adanya aktor politik yang mencoba mencari peruntungan dengan memainkan politik populisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun