Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekali Lagi tentang Umbu Landu Paranggi: Guru Kehidupan

26 April 2021   10:25 Diperbarui: 26 April 2021   10:42 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Putu Suasta, Umbu Landu Paranggi, Putu Fajar Arcana (Dok. Pribadi)

Umbu Landu Paranggi, sastrawan legendaris Indonesia, wafat 20 hari lalu. Obituarinya dimuat di hampir semua media utama, disebarkan di media-media sosial  dengan nada duka, kata-kata takjim penuh hormat dan petikan-petikan kenangan dari para murid dan sahabat mahaguru penyair Indonesia itu. 

Maka tulisan sederhana ini sengaja menggunakan kata "sekali lagi" sebagai pertanda telah ada puluhan bahkan ratusan artikel di media di media yang disusun untuk mengenangnya.

Upaya penghormatan atas jasa, dedikasi dan persahabatan tulus Umbu terus dilakukan. Di Bali teman-teman pegiat sastra meluncurkan CakrakataTV dengan program pertama pembacaan puisi-puisi Umbu. 

Kanal tersebut merupakan pengembangan atas gagasan Umbu semasa hidup dan maka peluncuran kanal tersebut didedikasikan sebagai bentuk penghormatan kepadanya. 

Sebelumnya, NusaBali mengkhususkan satu halaman penuh untuk memuat puisi yang ditulis  para penyair dalam bentuk ode bagi Umbu. Tentu masih banyak bentuk kegiatan lain yang dilaksanakan untuk menghormati, merawat kenangan dan melestarikan warisan Presiden Malioboro tersebut.

Kali ini saya akan mengenangnya sebagai seorang sahabat sekaligus guru kehidupan karena saya sendiri tidak begitu akrab denga puisi yang dengan tekun digeluti Umbu sepanjang hidupnya. 

Ketika saya mulai kuliah di UGM, Umbu telah meninggalkan Jogja, tetapi namanya masih terus menjadi bahan perbincangan di antara para mahasiswa, aktivis dan kelompok-kelompok studi yang terus menggaungkan namanya sebagai Presiden Malioboro.

Perkenalan secara pribadi yang kemudian sergera berubah menjadi persahabatan baru tercipta ketika saya aktif melakukan reportase tokoh untuk Bali Post di mana Umbu mengasuh rubrik budaya.

Sekalipun Umbu identik dengan puisi dan bahkan hidupnya disebut sebagai jalan puisi (oleh para muridnya) dia sama sekali tak pernah membicarakan puisi dengan saya. Barangkali karena dia tahu saya bukan seorang yang menekuni dunia puisi dan di sinilah Umbu menunjukkan sikap egaliternya. 

Dia bisa menerima siapa saja dengan latar belakang apa saja, dengan minat apa saja tanpa sikap menggurui. Topik-topik diskusi dengan Umbu di sela-sela kerja di Bali Post sangat beragam, tapi dia tidak pernah sama sekali menonjolkan diri sebagai yang paling tahu dalam topik atau masalah apapun yang kami diskusikan. 

Auranya sebagai seorang "guru" terpancar saat teman diskusinya selalu didorong untuk mengembangkan secara maksimal potensi dan minat yang dimilikinya.

Sebagai aktivis muda di tahun 1990-an saya kerap menjumpai Umbu, bukan hanya untuk mendapatkan insight tentang isu-isu terbaru, tetapi lebih dari itu, sebagai upaya menemukan oase dari hiruk pikuk dunia. 

Umbu akan menjadi pendengar yang tulus dalam perbincangan hangat, kemudia menyampaikan pandangannya yang selalu konsisten dengan jalan sunyi, tidak ikut arus hendonisme dunia dan jalan hidupnya merupakan kesaksian atas sikap tersebut. 

Maka bertemu dengan Umbu adalah kesempatan bagi saya untuk bercermin yang sering kali terlalu diburu oleh nafsu materialisme, godaan untuk terkenal dan berbagai pesona-pesona lain yang ditawarkan dunia ini. 

Semua itu berhasil diredam oleh Umbu sebagaimana ditunjukkan melalui jalan hidupnya yang sederhana, egaliter, dengan tulus berteman dengan siapapun dan tak pernah menunjukkan sikap menghakimi apalagi merasa paling benar atau paling suci.

Jika ditilik dari kaca mata religius, Umbu adalah seorang suci yang tidak puritan. Dia tidak tergoda akan keterkenalan, kemewahan dan berbagai bentuk kenikmatan duniawi, tetapi dia tidak antipati atau bersikap menghakimi kepada siapapun, bahkan yang berbeda jalan dengannya. Karena itulah kenangan akan Umbu dan teladan hidupnya tidak akan terhapus oleh waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun