Mohon tunggu...
Putu Suasta
Putu Suasta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumnus UGM dan Cornell University

Alumnus UGM dan Cornell University

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menanti Eksekutor Reformasi

12 Juni 2019   11:46 Diperbarui: 12 Juni 2019   11:56 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: maxmanroe.com 

Dalam beberapa hari terakhir para kolumnis dan pengamat ekonomi-politik manca negara yang memberi perhatian pada Indonesia mulai mengulas atau tepatnya memprediksi pemerintahan Jokowi dalam 5 tahun ke depan sebagaimana tergambar dalam kolom The Diplomat, CNN, dan beberapa media berbahasa inggris lainnya. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap proses peradilan yang kini berlangsung di MK, tidak berlebihan rasanya untuk mengukuhkan keyakinan bahwa Jokowi adalah Presiden Indonesia hingga kurang lebih 5 tahun ke depan karena dari segi kalkulasi rasional akan sangat sulit bagi kubu Prabowo untuk membuktikan kecurangan yang dapat menggagalkan kemenangan dua digit (11 %--sesuai hasil hitung resmi KPU). Maka tak terelakkan jika sekarang mulai muncul sorotan, prediksi dan juga aspirasi terhadap priode kedua pemerintahan Jokowi.

Kalkulasi Politik

Pernyataan Jokowi pada bulan Mei lalu bahwa dirinya tak akan memiliki beban dalam memimpin Indonesia 5 tahun ke depan karena tak akan berlaga lagi di Pemilu 2024, ditafsirkan para pengamat sebagai isyarat bahwa akan ada reformasi yang lebih drastis, masif dan terstruktur dalam lima tahun ke depan untuk mengakselerasi pembangunan Indonesia. 

Keinginan baik dari Presiden ini tentu menuntut banyak pembuktian melalui berbagai program tak populer tetapi penting. Pada titik inilah akan diuji apakah political will dari Presiden tersebut muncul dari kalkulasi yang matang dan motivasi yang tulus atau hanya wacana di awang-awang.

Kalkulasi politik tak pernah bisa diabaikan kendati secara de jure  Jokowi tak bisa lagi berlaga di 2024. Kita tak bisa mengabaikan bahwa partai-partai pendukung Jokowi akan berlaga di 2024 baik dengan mengusung figur-figur lama maupun memunculkan figur baru. 

Karena itu partai-partai politik ini tentu membutuhkan agenda-agenda populer untuk terus menarik simpati masyarakat. Maka tak ada jaminan bahwa partai-partai koalisi akan terus mendukung agenda Presiden terutama yang tidak populer dan berpotensi menggerus suara masyarakat.

 Dengan kata lain, peta dukungan terhadap Presiden dari partai-partai koalisi akan sangat dinamis, akan banyak dipengaruhi proyeksi tiap partai dalam mempersiapkan diri menuju Pemilu 2024. 

Maka kemampuan Jokowi mengelola dinamika dalam koalisi dan memaksimalkan modal politik yang dimilikinya akan menentukan kesuksesan agendanya dalam 5 tahun ke depan. 

Dia tidak bisa membiarkan diri dalam kungkungan patron satu atau dua partai politik. Memperbesar dukungan politik melalui penambahan partai koalisi bisa menjadi salah satu senjata ampuh keluar dari kungkungan itu dan memberi semakin banyak opsi bagi Presiden dalam mengelola dinamika yang terjadi.

Reformasi Multi-Tafsir

Menyukseskan reformasi yang drastis, terstruktur dan masif, sekali lagi, membutuhkan dukungan politik yang besar. Kendati semua politisi memiliki jawaban seragam bahwa reformasi perlu dilakukan untuk memperbaiki tiap bidang yang belum mencapai hasil terbaik atau hasil maksimal, hampir mustahil mendapatkan jawaban seragam tentang bagaimana reformasi tersebut sebaiknya dilakukan. 

Apakah secara perlahan atau secara drastis, apakah secara menyeluruh atau hanya pada bidang-bidang tertentu saja, serta banyak variasi jawaban lainya. Ragam jawaban itulah yang membuat dukungan politik yang besar terhadap upaya reformasi dalam format apapun dari Presiden tidak akan mudah didapat.

Berkaca pada situasi Indonesia sekarang, secara objektif kita dapat menilai akan pentingnya sebuah reformasi struktural dan drastis. Tanpa mengesampingkan capaian pemerintah dalam 5 tahun terakhir, berbagai pekerjaan besar masih menanti dan membutuhkan upaya besar untuk mendobrak kebekuan. 

Di bidang pendidikan, misalnya, kita masih tertinggal jauh bahkan dari negera tetangga seperti Malaysia dan Singapura kendati anggaran pendidikan kita mengalami peningkatan signifikan dalam 5 tahun terakhir. 

Kita masih tertinggal baik dalam kualifikasi akademik mapun dalam menghasilkan tenaga-tenaga ahli atau terampil. Peringkat pendidikan Indonesia terbaru di kancah global juga tak menunjukkan perbaikan berarti. 

Karena itu, dapat kita tarik kesimpulan cepat bahwa kekurangan anggaran yang sering dikeluhkan di masa lalu bukan permasalahan utama di bidang pendidikan. Butuh upaya reformasi struktural dalam manajemen pendidikan kita agar dapat bersaing dengan kemajuan dunia yang serba cepat.

Sejalan dengan produk pendidikan, penurunan angka penggangguran yang berhasil dicatatkan pemerintah dalam 5 tahun terakhir sebagian besar berasal dari angkatan kerja berpendidikan SMA ke bawah. 

Artinya, lowongan kerja yang terbuka lebih banyak menyerap tenaga-tenaga tak terampil. Sementara angkatan kerja berpendidikan lebih tinggi justru menunjukkan tren pengangguran lebih tinggi. 

Karena itu tuntutan reformasi secara drastis untuk memperbaiki kualitas perguruan tinggi mutlak dilakukan agar pasar tenaga kerja kita semakin menarik bagi industri yang membutuhkan tenaga kerja terampil.

Tentu masih banyak bidang yang bisa kita urai untuk menegaskan betapa kita membutuhkan upaya reformasi struktural dan drastis dalam rangka mempercepat pembangunan. Di atas segalanya, kita membutuhkan eksekutor handal untuk menyukseskannya. Dalam 5 tahun ke depan akan tampak apakah Jokowi adalah seorang eksekutor yang kita tunggu atau hanya sekedar perancang.

Indikator terdekat yang bisa kita nilai adalah melalui susunan kabinet dan figur-figur yang menduduki posisi sentral di pemerintahan sejak awal periode kedua nanti. Apakah Jokowi berani mendahulukan figur-figur profesional daripada perwakilan partai politik? Apakah Jokowi berani membersihkan lembaga  hukum dari oknum-oknum partai untuk menghindari tumpang tindih kepentingan seperti posisi Jaksa Agung? 

Dengan pengalaman panjang di birokrasi, tentu Jokowi cukup paham pos-pos mana yang mesti diduduki orang profesional, pos mana yang mesti diduduki figur independen dan non partisan; pos mana yang bisa diberi ke partai politik. Dalam waktu dekat kita akan mendapatkan jawabannya.

Selain dalam tata kelola pemerintahan, publik juga menantikan ketegasan lebih dari Presiden menyangkut persoalan sosial dan hukum di tanah air yang dalam beberapa tahun terakhir tidak diselesaikan secara tegas. 

Di antaranya adalah penegakan hukum pada ormas-ormas radikal yang membuat kegaduhan di tengah masyarakat, penegakan hukum pada para provokator intoleran yang menghianati nilai-nilai Pancasila, penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu dan aneka persoalan sosial-hukum di tengah masyarakat yang menuntut ketegasan Presiden dalam penyelesaiannya. 

Deretan persoalan ini hanya dapat dituntaskan oleh seorang pemimpin tegas, bermental eksekutor yang tak lagi mengedepankan populisme dan hitungan politik elektoral. Sekali lagi, kita akan lihat apakah Jokowi memenuhi ekspektasi tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun