Mohon tunggu...
Putu Djuanta
Putu Djuanta Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Keen on capital market issues, public relations, football and automotive | Putu Arya Djuanta | LinkedIn | Yatedo | Twitter @putudjuanta | https://tensairu.wordpress.com/ | https://www.carthrottle.com/user/putudjuanta/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

KPK (Masih) Perlu Penyadapan

29 Juni 2015   12:30 Diperbarui: 29 Juni 2015   12:30 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang pemberantasan korupsi memang tidak ada habisnya, khususnya di Indonesia. Satu hal yang menjadi perhatian publik saat ini yaitu revisi terhadap UU KPK, khususnya tentang penghapusan penyadapan. Di satu sisi, kewenangan penyadapan memang rentan untuk disalahgunakan. Namun faktanya, terdapat urgensi dimana penyadapan merupakan satu-satunya cara mengungkap kasus.

Entah kebetulan atau tidak, hal tersebut pernah tertuang pada artikel Kompasiana “Rumah Kaca Abraham Samad” yang populer beberapa bulan lalu. Ketua KPK saat itu dianggap (akan) memanfaatkan hasil penyadapan untuk kepentingan pribadi. Ironis memang, tapi sekali lagi, itu soal lain. Penyadapan kali ini adalah penyadapan sebagaimana dimuat dalam pasal 12 di UU 30 Tahun 2002.

Di negara maju seperti AS, penyadapan digunakan sebagai senjata untuk melawan korupsi. Contoh paling nyata adalah ketika mantan Gubernur Illinois Rod Blagojevich menjadi tersangka dan dihukum 14 tahun penjara karena tuduhan konspirasi dan korupsi yang disebut Operation Board Games di Illinois. Ia juga dianggap memperjualbelikan kursi senat Barack Obama. Tak tanggung-tanggung, yang menyadap adalah FBI -- setelah membuat laporan ke pengadilan untuk mendapat izin penyadapan. 

Terkait hal ini, terdapat poin penting ketika Laurie Barsella dari Departemen Kehakiman Chicago menegaskan bahwa semua kasus korupsi harus dijerat, tidak penting apakah dari Partai Demokrat maupun Republik. Ia juga mengatakan, tidak ada alasan apapun yang bisa digunakan untuk membenarkan pejabat publik menyalahgunakan kekuasaannya.

Rekaman Pembicaraan

Penyadapan erat kaitannya dengan aktivitas komunikasi dua arah. Meski punya kewenangan untuk menyadap, kita tidak bisa serta merta menganggap jika KPK punya pekerjaan mudah. Perlu diketahui, Average Revenue per User (ARPU) di Indonesia hanya berada di kisaran Rp35,000,-, jauh lebih murah dibandingkan Australia yang mencapai Rp600,000,- ataupun Malaysia pada kisaran Rp150,000,-.

Artinya, biaya komunikasi bukanlah kendala signifikan bagi pihak yang korup untuk mengatur ‘kesepakatan’ via ponsel. Dengan beragamnya aplikasi pesan singkat (chat), kadang penyadapan harus didukung dengan penyitaan barang sebagai bukti permulaan. Ini pun masih bersifat lokal, dimana KPK belum tentu bisa menyentuh asset yang sudah dilarikan ke luar negeri.

Guna menyulitkan penelusuran kasus melalui penyadapan, intensitas pembicaraan bisa dibuat sebanyak mungkin seandainya para koruptor memang berniat untuk mengelabui KPK. Modus ini bisa merumitkan pihak penyadap untuk menangkap benang merah kasus. Tanpa kemampuan analisis yang kuat, rekaman penyadapan tetap butuh waktu relatif lama untuk dijadikan alat bukti.

Continuing Trends (Tren Berlanjut)

Dalam studi kasus yang dimuat APG Yearly Typologies Report 2014, terdapat empat tren berlanjut yang kerap digunakan koruptor dalam melakukan pencucian uang di Indonesia, yaitu (1) penggunaan uang tunai (2) penggunaan mata uang asing (3) penggunaan identitas palsu dan (4) penggunaan rekening anggota keluarga dan/atau pihak ketiga.

Dari tren-tren tersebut, metode pemberian uang tunai merupakan sasaran yang sangat bergantung pada hasil penyadapan. Sebagaimana diketahui, korupsi adalah extraordinary crime yang hampir pasti melibatkan dua pihak atau lebih. Saat komunikasi menjadi hal krusial, penyadapan adalah cara efektif yang bisa mensukseskan operasi tangkap tangan. Tanpa hasil penyadapan, koruptor lebih leluasa untuk menyamarkan harta ilegalnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun