Mohon tunggu...
Putu Bagus R Janasuta
Putu Bagus R Janasuta Mohon Tunggu... Lainnya - -

Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang-Tuah Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kontroversi BPJS Kesehatan "Kartu Sakti" Sebagai Syarat Akses Pelayanan Publik, Apakah Melanggar Hak Asasi Warga Negara?

22 April 2022   03:20 Diperbarui: 22 April 2022   04:00 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Beberapa waktu terakhir, masyarakat dibuat “gaduh” dengan adanya pemberlakuan Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan  Program Jaminan Kesehatan Nasional. Keberlakuan Inpres  tersebut dikaitkan dengan Kepersertaan BPJS Kesehatan sebagai “Kartu Sakti” dalam berbagai urusan pelayanan administrasi publik di semua instansi pemerintah.

Direktur Utama BPJS Kesehatan dr Ali Ghufron Mukti mengatakan bahwa saat ini baru sekitar 86% Penduduk Indonesia yang sudah menjadi peserta program JKN-KIS (BPJS Kesehatan). BPJS menargetkan pada tahun 2024 peserta program JKN-KIS itu meningkat menjadi 98 % Penduduk Indonesia. Hal ini sesuai dengan target dari Rencana Pembangunan Menengah Jangka Panjang

Optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional dan peningkatan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pada Inpres tersebut diinstruksikan kepada 30 (tiga puluh) kementerian dan lembaga. Salah satunya pada Kementerian Agama, calon jamaah umrah atau jamaah haji diwajibkan menjadi peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu, pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga mewajibkan setiap warga negara yang mengurus paspor (baik mengurus paspor baru maupun perpanjangan paspor) menjadi peserta aktif dalam program jaminan kesehatan nasional.

Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Pertanahan Nasional juga mewajibkan pemohon yang melakukan jual beli tanah menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional. Pemohon pengurusan Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), maupun Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) juga tidak lepas dari kewajiban menjadi peserta aktif dari program Jaminan Kesehatan Nasional.

Banyak pihak yang menduga bahwa dengan terbitnya inpres ini merupakan suatu pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Adapun hak asasi manusia yang dilanggar adalah kebebasan setiap warga negara untuk memilih asuransi yang sesuai dengan kebutuhannya. BPJS Kesehatan yang semula menjadi kebutuhan rakyat, tetapi lantas direkayasa  “dipaksakan” oleh pemerintah agar menjadi salah satu syarat transaksi, dalam hal ini jual beli tanah, maka yang terjadi bukan lagi “kebutuhan,” melainkan manipulasi terhadap “kebutuhan” itu. Pemerintah memanfaatkan kebutuhan masyarakat menjadi alat kekuasaan.

Berdasarkan beberapa hal yang dijabarkan diatas, Inpres tersebut tidak sesuai dengan “jati diri” dari BPJS Kesehatan, yang mulanya BPJS Kesehatan “hadir” sebagai sarana mepermudah masyarakat khususnya masyarakat tidak dalam meperoleh akses pelayanan keehatan. Namun kini malah menjadi alat “pemaksaan”  pemerintah kepada masyarakat.

Kembali dengan pertanyaan diatas BPJS Kesehatan “Kartu Sakti” sebagai syarat akses pelayanan publik. Itu sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik pada pasal 34 pada huruf (f) yang berbunyi “Pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku tidak menyulitkan akses pelayanan”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun