Mohon tunggu...
Humaniora

Setelah Indomie, Makanan Cepat Saji yang Digemari Mahasiswa "IPK"

18 Oktober 2017   22:22 Diperbarui: 18 Oktober 2017   22:39 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://gamadiksi-usu.blogspot.co.id

Dalam dunia perkuliahan sangat tidak asing dengan istilah Indeks Prestasi Komulatif atau sering disebut IPK. IPK merupakan hasil perhitungan komulatif nilai pada setiap semester. Hasil setiap semester inilah yang menjadi momen paling ditunggu Mahasiswa, layaknya anak SD yang menunggu hasil laporsetiap kenaikan kelas. Mengapa demikian? Bukankah Mahasiswa tidak ada sistem kenaikan dan tinggal kelas?

Tidak dipungkiri pentingnya IPK yang tinggi bagi Mahasiswa, karena IPK sendiri menjadi tolak ukur kesungguhan Mahasiswa dalam belajar. IPK = NILAI TERTULIS, dalam artian kecerdasan Mahasiswa diukur dari IPK nya. Jika IPK nya tinggi berarti Mahasiswanya pintar dan rajin. Apa jaminannya?

Pada pembahasan kali ini bukan berarti mengabaikan urgensiIPK, semua Mahasiswa pasti menginginkan nilai yang tinggi dengan IPK sebagai tolak ukurnya. Lantas instrumen apa yang digunakan jika ingin mengukur kemanfaatan ilmu jika hanya IPK yang selalu dikejar?

IPK bisa saja tinggi tapi belum tentu ilmunya dapat diimplementasikan. Berdasarkan survey,banyak Mahasiswa dengan jenjang semester atas merasa belum mendapatkan pointpembelajaran disetiap jurusannya. Namun ajaibnya dengan pengetahuan tingkat medium bisa mendapatkan IPK yang tinggi. Maka tidak asing lagi dengan istilah "ah yang penting IPK TINGGI, tinggal dekati dosen, lobby dikit, nilai aman".

Banyak cara yang dilakukan Mahasiswa demi mendapatkan nilai yang tinggi, mulai dari  pendekatan tipis-tipis dengan dosen, mengantar makanan sembari basa-basi ngobrolintelektual bermodalkan baca artikel di internet, hingga kejahatan Mahasiswa tingkat cabedemi dekat dengan dosen. What? Separah itukah?  Inilah salah satu penyebab banyaknya sarjana yang menganggur, disebabkan karena perusahaan tertipu dengan IPK yang tinggi, dalam artian IPK berbanding terbalik dengan implementasi atau praktiknya.Lalu bagaimana jalan tengahnya? Bagaimana menyelaraskan antara IPK dan kemanfaatan ilmu?

Berawal dari Mindsetkeluarga. Pendidikan dan ajaran dari keluarga mempengaruhi cara berfikir seseorang hingga dewasa, sejak kecil sudah dituntut untuk mendapatkan nilai yang tinggi. Bahkan jika nilai turun beberapa persen, langsung diancam dengan ancaman yang seolah mematikan. Maka wajar saja ketika dewasa berlaku curang, karena sejak kecil melakukan berbagai cara untuk mendapatkan nilai tinggi dengan mencontek dan dengan kenakalan lainnya. 

Dari sinilah berawal sebuah kesalahan, dengan terbiasanya seseorang karena tekanan mendapatkan nilai tinggi akan terbawa hingga dewasa. Maka perlunya kesadaran keluarga untuk merubah mindsetbahwa pendidikan bukan hanya sekedar nilai, tapi pada pemahaman terhadap ilmu. Percuma saja nilai tinggi tapi pemahaman nol.

Ubah paradigma berfikir "Kuliah hanya untuk mendapatkan IPK dan GELAR". Apapun bentuk nilai baik itu IPK dan nilai tertulis lainnya, nilai tetaplah nilai. IPK tanpa kemanfaatan ilmu tidak akan berbobot, gelar tanpa Implentasi ilmu tidak akan berguna. Hilangkan kebiasaan mengejar nilai, kurangi kecemasan terhadap naik turunnya IPK dan hilangkan mindsetmerajakan IPK. Jangan menunggu program dari kampus seperti magang atau praktik kerja lapangan, tapi berinisiatif sendiri untuk melakukan implementasi ilmu,  seperti jika dalam praktisi pendidikan cobalah menjadi tenaga relawan di sekolah yang membutuhkan. Dengan hal ini bukan hanya pengimplementasian ilmu, tetapi juga mendapatkan pengalaman.

Mahasiswa harus menjaga ke-sadaranjiwa dalam menuntut ilmu. Kesadaran yang bagaimana? Mengapa jiwanya yang harus sadar? YA, karena secara fisik dipastikan sadar dan sehat, tapi secara jiwa dan batin belum tentu Mahasiswa sadar.Jelas  berdasarkan empirisme, sebagai contoh perkuliahan sudah berjalan tiga bulan dan tidak terasa sudah ujian tengah semester. Secara perhitungan angka, tiga bulan bukanlah waktu yang sedikit namun kebanyakan Mahasiswa mengeluh belum mendapatkan apa-apa dalam pembelajaran. Apa lagi yang salah? Ya karena TIDAK SADAR JIWANYA. Hal ini disebabkan kebiasaan Mahasiswa yang hanya menunggu materi dari dosen, tanpa ada umpan balik, seharusnya sadardengan belajar mandiri. Dengan cara inilah dapat meningkatkan ke-sadaran jiwaMahasiswa dalam menuntut ilmu.

Bukan hanya pandai menghitung uang bulanan,tapi harus pintar menghitung kemanfaatan ilmu. Point terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah dengan cara membuat listatau daftar mata kuliah yang sudah dikuasai. Menghitung persentase penguasaan ilmu sangat penting untuk mengetahui progress perkembangan pengetahuan Mahasiswa. Jadi, jangan hanya pintar menghitung uang bulanan ya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun