Mohon tunggu...
Putriana Supriatin
Putriana Supriatin Mohon Tunggu... Guru - Guru Lintas Mata Pelajaran

saya menyukai tantangan dalam dunia pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Beda Bahasa Beda Harga

9 Desember 2022   08:00 Diperbarui: 9 Desember 2022   08:36 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bagi para pecinta kuliner pasti pernah menemukan menu yang sama di sebuah tempat makan namun dengan perbedaan harganya sangat jauh. Entah karena hal apa, mungkin saja karena tempatnya atau pangsa pasar dari tempat nongkrong tersebuat yang dapat membedakan harga makanan itu berbeda. Contoh yang paling sering saya temui misalnya pada jenis menu seperti es jeruk peras dengan Orange Juice. 

Biasanya jika tulisan di menu tersebut tertera es jeruk peras maka harganya hanya berkisar antara lima sampai dengan tujuh ribu rupiah. Jika di daftar menu tersebut tertulis orange juice maka bisa jadi harganya pun mengalami kenaikan yang signifikan berkisar antara lima belas sampai dengan dua puluh lima ribu rupiah. Sungguh perbandingan yang sangat jauh. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Apakah jika semua yang berbahasa asing harus di labeli harga yang mahal, bukan kah yang di jual adalah produk kita bahkan kita juga yang membuatnya. 

Yang lebih miris lagi pada beberapa item makanan khas Indonesia seperti, Gado – gado atau pecal yang biasa di jajakan dipagi hari di warung – warung sarapan pagi, harga makanan ini berkisar antara tujuh ribu hingga paling mahal kira-kira dua belas ribu rupiah dan ini sudah dapat tambahan tempe goreng, tahu goreng dan kerupuk. Jika makanan yang sama tapi dengan nama yang sudah di ubah ke bahasa asing seperti vegetable salad with peanut dressing atau salad with peanut souce atau apa lah lagi nama asingnya, yang jelas kisaran harga produk makanan ini antara lima belas ribu sampai dengan tiga puluh lima ribu rupiah. Berikut adalah beberapa selisih harga makanan Indonesia yang dijual dan dibuat di Indonesia namun di tulis di daftar menu dengan bahasa asing beserta selisih harganya dari salah satu situs di laman dalam jaringan.

(1) Telur dadar harga tujuh ribu lima ratus rupiah, omellete dua puluh lima ribu rupiah, (2) Gado – gado empat belas ribu, Javanese Salad With Peanut Sauce tiga puluh lima ribu rupiah, (3) Sate Ayam lima belas ribu rupiah, Chicken Satay empat puluh ribu rupiah, (4) Es Teh Manis tiga ribu rupiah, Sweet Iced Tea/ Iced Tea dua belas ribu rupiah, (5) Es Coklat sepuluh ribu rupiah, Ice Chocholate Blended tiga puluh lima ribu rupiah, (6) Tempe Mendoan lima ribu rupiah dapat tiga, Crispy Slaty Soya Bean tiga puluh lima ribu rupiah dapat lima, (7) Rendang dua puluh lima ribu per porsi, Steak with Padang Spicy Sauce tujuh puluh lima ribu per porsi.

Dari beberapa contoh perbandingan harga di atas dapat kita lihat bahwa selisih harga makanan yang sudah di ubah menggunakan bahasa asing dapat naik dua hingga empat kali lipat dari harga ketika makan atau minuman tersebut masih menggunakan nama aslinya. Apakah hanya karena tempat dimana makanan atau minuman itu dijual yang membuat harganya berbeda. Kenyataannya memang seperti itu yang di jual di warung pinggir jalan atau kantin lebih murah dari pada yang di jual di restaurant atau tempat – tempat nongkrong para kaum elite. 

Yang paling tampak juga di kalangan pecinta kopi. Kopi yang di jual di warung sarapan pagi mulai dari harga tiga ribu rupiah, namun ketika kopi itu sudah berada di Cafe harganya bisa melambung dari mulai lima puluh ribu sampai dengan jutaan rupiah. Ini ternyata tergantung juga pada ke ahlian sang barista dalam meracik kopi menjadi aneka ragam olahan minuman kopi yang mewah. Cara menikmatinya pun berbeda jika biasanya kita temukan bapak-bapak yang minum kopi di warung dengan menyeruput atau langsung menenggaknya hingga tersisa ampas. Lain hal nya dengan cara orang – orang yang menikmati minuman ini di cafe dengan  sang barista menjadi kokinya, mereka biasanya dapat langsung melihat keahlian peracik kopi tersebut dan menghirup aroma terlebih dahulu dengan menggoyang sedikit cangkir kopinya lalu baru di seruput dengan tidak menghambuskan nafas keluar.

Inilah fenomena yang terjadi di negeri yang kita cintai. Dimana makanan atau minuman yang bahan bakunya berasal dari negara kita, di olah dengan resep turun temurun dari nenek moyang kita, di racik sendiri oleh bangsa kita, kemudian dijual dan di ubah namanya dengan bahasa asing. Mungkin saja ini terjadi agar para turis asing yang berkunjung ke negara kita mengerti apa yang mereka konsumsi namun sayangnya ini menjadi tren dikalangan anak muda negeri ini yang lebih bangga menyebutkan “makan ayam chicken atay fried chichken dari pada makan ayang goreng balut tepung” padahal rasanya relatif sama karena sama – sama di buat oleh tangan – tanga terampil orang pribumi.

Mengapa kita lebih bangga untuk menyebutkan ngopi di cafe dari pada ngopi di warung, yang cita rasa dan aromanya terkadang sama nikmatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun