Mohon tunggu...
putri alycia
putri alycia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Malang

Masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gawat! Kenali Disleksia Sebelum Terlambat!

28 November 2022   14:55 Diperbarui: 28 November 2022   15:04 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sumber: www.melodijolola.com

Salah satu anak yang masuk dalam kategori 'Anak berkebutuhan khusus' adalah mereka yang memiliki kesulitan belajar berupa Disleksia. Apa itu Disleksia? Kenapa anak Disleksia disebut sebagai anak yang berkebutuhan khusus? Mari kta caei jawabannya Bersama-sama.

Disleksia merupakan ketidak mampuan belajara yang spesifik yang ditandai oleh masalah dalam mengekspresikan atau penerimaan dalam pekerjaan lisan atau tertulis yang mungkin muncul dalam membaca, berbicara, mendengarkan, dan menulis. (Michael. R. Clement, dalam Weiner, 2003). 

Penderita disleksia mengalami kesulitan mengenali bagaimana kata-kata yang diucapkan harus diubah menjadi huruf dan kalimat atau sebaliknya. Menurut National Institue of Neurological Disorder dan Stroke (NINDS,2011), disleksia adalah kesulitan belajar spesifik berbasis neurologi yang secara khusus mengganggu kemampuan seseorang untuk berbahasa dan membaca. Studi terbaru dari (Bhatnagar, Mandybur, Buckingham, & Andy, 2000; Leisman, 2002; Simos, Breier et al.,2002). 

Selain itu, Frederickson dan Cline (2009) dan Rowan (2010) menganggap Disleksia sebagai masalah membaca dan menulis yang tidak lengkap baik dalam membaca maupun mengeja. Disleksia adalah kombinasi kecacatan dan kesulitan yang mempengaruhi pembelajaran dalam satu atau lebih aspek membaca, mengeja, dan menulis. Orang-orang ini, terlepas dari kecerdasan normal mereka, biasanya memiliki kemampuan membaca yang lebih rendah dari yang diharapkan.

Penderita disleksia tidak hanya kesulitan membaca, tetapi mereka juga kesulitan mengurutkan kata dari atas ke bawah atau dari kiri ke kanan. Anak disleksia memiliki masalah dalam fonologi, yang mengacu pada perspektif sistematis huruf dan bunyi. Selain itu anak disleksia memiliki masalah mengingat kata-kata, mengatur sesuatu secara sistematis, memori jangka pendek, dan masalah tata Bahasa. Kegiatan membaca melibatkan beberapa aspek ketrampilan yaitu kemampuan mengenal kata, kemampuan memahami fonem dan kemampuan mencocokkan bunyi dan huruf. (Endang Widyorini dan Julia Maria van Tiel, 2017).

Meskipun anak normal dapat membaca sejak usia enam atau tujuh tahun, tidak demikian halnya dengan anak disleksia. Mereka tidak bisa membaca dengan lancer sampai mereka berusia 12 tahun. Kesulitan ini terlihat saat anak masuk sekolah dasar, yang disebabkan oleh working memory (Kusumarin, 2011), dan kemudian Zeffiro dan Eden (2000) mencatat hasil yang mengkonfirmasi bahwa memori jangka pendek mempengaruhi pengaruhnya terhadap literasi, terutama pengkodean, pengembangan kelancaran dan tingkat yang lebih rendah dalam pengejaan. 

Hal ini konsisten dengan semakin banyaknya literatur yang menekankan efek psikologis dan biologis dari ingatan pada bacaan. Anak dengan disleksia juga mungkin memiliki gangguan mental yang menyebabakan kesulitan berkonsentrasi, seperti anak hiperaktif. Oleh karena itu, selain mengalami gangguan perilaku, mereka juga mengalami kesulitan belajar.

Yang sering terjadi saat ini adalah guru tidak menyadari adanya siswa dengan ketidak mampuan belajar seperti disleksia, hasilnya para siswa tersebut terpaksa mengikuti kegiatan pembelajaran sesuai standar KKM yang berlaku umum untuk semua siswa. Akibatnya, anak disleksia harus menerima generelisasi bahwa mereka sering disebut anak bodoh. 

Kondisi demikian, jika dibiarkan berlarut- larut, tidak akan membantu anak berkebutuhan khusus mengatasi masalahnya. Anak disleksia jika sejak dini diberikan penanganan yang tepat maka akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa, tetapi ika terlambat penanganannya akan berdampak pada gangguan social dan emosionalnya. Apalagi dengan adanya sebutan 'anak bodoh' yang akan membuat anak disleksia jadi semakin tertekan, stress, dan akhirnya berdampak pada perubahan tingkah lakunya.

Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS, 2010), disleksia bukanlah sebuah penyakit yang dapat disembuhkan melainkan suatu kondisi yang diwariskan (T. Wood, 2006). Tetapi dengan intervensi yang tepat, mislanya melalui terapi remedia, anak disleksia dapat mengatasi masalahnya dan berhasil menyelesaikan sekolahnya (S.E Shaywitz & B.A. Shaywitz, 2003). Reid, G. (2009) ada banyak aturan untuk mengajar anak disleksia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun